Kongres Perdamaian di PALAPAS

Saturday 28 November 2009

0 comments

KONGRES KEBUDAYAAN MULTI-ETNIK UNTUK PERDAMAIAN Di PALAPAS


(Kota Palu, Kab. Donggala, Kab. Parigi Moutong, Kab. SIGI)

Provinsi Sulawesi Tengah

18-20 November 2009



Daerah Sulawesi Tengah dihuni oleh masyarakat dengan kemajemukan yang tinggi baik etnis, budaya, agama, bahasa dan lain-lain. Kemajemukan tersebut mewarnai seluruh proses dan perkembangan kehidupan masyarakat (relasi sosial) hingga saat ini. Kemajemukan sosial dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Tengah telah memberi dampak yang kuat terhadap gerak kehidupan dan kondisi masyarakat, positif maupun negatif.

Beragamnya isu-isu konflik sosial yang hadir, khususnya pasca Orde Baru membawa konsekuensi dan dampak yang dalam konteks tertentu dapat mengundang disharmoni dan potensi konflik, bahkan dapat berujung pada krisis identitas. Keberagaman-pluralisme (kekayaan sosial-kultural) yang ada di Sulawesi Tengah mestinya dapat menjadi modal dasar bagi proses pembagunan di daerah bila dikelola dengan baik dengan mengusung prinsip keadilan dan kesetaraan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Selama ini disadari atau tidak, minimnya pemahaman akan pentingnya semangat (spirit) keberagaman dan kearifan budaya lokal dalam membangun dan memelihara perdamaian guna menciptakan persatuan dan kesatuan menjadi salah satu indikator krisis kepercayaan masyarakat adat yang berdampak pada terbentuknya eksklusivitas etnis, kelompok, golongan dan agama yang kemudian memunculkan potensi konflik sosial-kultural di masyarakat dan faktanya dalam beberapa dasawarsa terakhir ini justru mengakibatkan konflik komunal (Kasus Poso). Ketegangan dan bentrokan (Konflik) umumnya digerakkan oleh budaya dan pola hidup yang berbeda, karena setiap etnik membawa mereka pada kebudayaan mereka sendiri. Persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berorientasi ekonomi kapital telah juga menambah rentannya potensi konflik di area (Sulawesi Tengah) ini.

Saat ini terdapat banyak sekali organisasi adat, baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintahan (Ornop/LSM), tetapi keberadaan setiap organisasi itu memiliki tujuan dan maksud berbeda. Sangat mungkin keberadaan dan kepentingan berbeda-beda itu memiliki maksud yang sama, yakni menumbuhkan lagi kesadaran atas identitas kultural dan norma-norma yang menyertainya agar kehidupan ini berlangsung aman dan damai serta berkeadilan sosial. Dalam praktiknya, organisasi adat yang ada itu justru bukan berangkat dan bekerja untuk memenuhi maksudnya, melainkan sekadar menunjukkan eksistensi dan saling memperkuat legalitasnya masing-masing secara tradisional. Ini sesungguhnya merupakan salah satu faktor yang bisa menjelaskan, bahwa di daerah (khususnya Sulawesi Tengah yang diwakili Kabupaten Poso yang mengalami konflik kemanusiaan) masih bersemayam bibit konflik laten. Gejala Etnosentrisme (mengunggulkan dan menganggap budaya sendiri paling baik) masih kuat, dan ironisnya terjadi dalam sebuah “kultur besar” dan “etnik besar”, yakni di antara sub-etnik. Ini belum termasuk perbauran berbagai kultur dan sub-kultur yang berasal dari daerah lain.

Gagasan hadirnya KONGRES KEBUDAYAAN MULTI-ETNIK UNTUK PERDAMAIAN Di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Sigi (PALAPAS) Provinsi Sulawesi Tengah ini dilatarbelakangi realitas di atas dan berbagai perspektif tentang realitas itu.


)*yayasan Tadulakota' Document

Laksa Cerita

Wednesday 25 November 2009

0 comments
TAKDIR KEMBANG DIBURU LIMBANG



ia tidak pernah lupa merenda harinya yang muram
dengan kain sisa milik para tetangga
usang dan pasi

: kami berkenalan di karnaval tahun baru tiga tahun lewat pesta topeng
kupenuhi bopeng disekujur diri
lalu ilusi mengejarku hingga kami sama-sama berlari
menuju gemintang

mereka yakin bila hari diterjang limbang
ombak di laut lepaspun takkkan mampu menghalangi
takdir tuhan yang malang

ia tidak pernah lupa merenda harinya yang muram
dengan kain sisa milik para tetangga
usang dan pasi

Kabonena, Juli 2009

Membangun Hukum Berkeadilan

Sunday 22 November 2009

0 comments

Oleh : Miftahul A’la
Beberapa hari terakhir ini, lembaga hukum di Indonesia benar-benar mendapatkan ujian berat yang harus mempertaruhkan kredibilitasnya di mata publik. Bagaimana tidak, coba bayangkan saja hanya dalam satu tahun terakhir ini, berbagai deretan kasus hukum tidak kunjung usai mengahantui lembaga hukum Indonesia. Mulai dari kasus yang sepele hingga kasus yang besar semuanya semakin menambah panas dunia hukum di Indonesia. Meskipun sudah berjuang sampai titik darah terakhir namun tetap saja berbagai kepincangan masih menghiasi lembaga hukum di Indonesia. Sehingga semakin menambah ketidakpastian akan dibawa kemana hukum yang di gagas di dalamnya.
Memang sebenarnya banyak sekali berbagai ketimpangan yang melanda lemabaga hukum, namun begitu tercium oleh publi. Berbagai ketimpangan dan tentang ketidakjelasan hukum di Indonesia baru kelihatan semakin nampak nyata ke muka publik ketika dua lemabaga hukum besar yakni kapolri dan KPK (komisi pemberantasan korupsi) yang sama-sama menjadi gawang penegak hukum di Indonesia bertikai tanpa ada henti. Hal ini juga masih diperparah lagi dengan ulah para kejaksaan agung yang juga ikut rembug dalam pertikaian itu. Alhasil hukum yang seharusnya membuat jera para pelaku justru berbalik menjadi seperti permainan ular tangga yang dimainkan oleh orang lain.
Sebenarnya jika diruntut lebih jauh pertikaian yang terjadi antara dua lembaga hukum ini sebenarnya sudah lama, entah karena kecemburuan ataupun untuk mendapat simpatisan di mata publik. Bahkan sejak awal kelahiran KPK sudah mendapatkan sinyal yang kurang begitu bagus dari lembaga polri. Polri seakan-akan kurang begitu antusias dengan lembaga hukum baru yaitu KPK. Hal ini wajar sebab kemungkinan besar dengan kelahiran KPK polri merasa wewenangnya secara tidak langsung akan diambil alih oleh KPK, meskipun tidak begitu mencuat di mata publik.
Perseteruan yang terjadi kali ini memang bukan merupakan satu-satunya fakta yang memperlihatkan ketimpangan hukum di Indonesia. Akan tetapi dengan adanya kasus yang terjadi kali tentunya sudah cukup mewakili ketika harus menyatakan bahwa hukum di Indonesia memang sudah tidak mementingkan keadilan, akan tetapu hanya merupakan ajang untuk mencari sensai, dan kekuasaan yang penuh dengan intrik politik. Di Indonesia terjadi apa yang dinamakan dengan mafia peradilan, yang pekerjaanya mempermainkan hukum dengan sekenedak hati.
Ironisnya meskipun Presiden SBY sudah membentuk Tim8 yang digawangi oleh Adnan Buyung Nasution dkk khusus menangani masalah ini, ternyata juga tidak mampu untuk meredakan konflik yang terjadi anatara keduanya. Yang terjadi justru sebaliknya konflik tersebut justru semakin memanas. Tidak hanya elite penguasa yang kini mengetahui akan kegelapan hukum yang ada di Indonesia. Sekarang sudah menjadi rahasia umum, para pedagang dan petani sekalipun juga dengan gamblang mengetahi akan kegelapan hukum di Indonesia. Kegelapan hukum di negeri ini puncaknya ketika ditahannya dua pimpinan KPK yakni Bibit-Hamzah oleh Kapolri dengan sangkaan penyelewengan kekuasaan.
Kesadaran Kolektif
Memang sudah sekian lama sebenarnya rakyat sudah terluka dengan berbagai penyikapan dan penanganan kasus-kasus besar yang seolah-olah tidak menyentuh orang luar biasa. Bahkan ironisnya kasus yang ada tersebut hanya sebatas mandek sebagai dark number. Misalnya, apa kabar tentang pengungkapan kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah? Bagaimana pula nasib kasus kematian wartawan Fuad Muhammad Syafruddin, juga skandal pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir dan banyak lagi kasus yang numpuk tanpa adanya penyelesaian jelas? Ketiga kasus HAM itu hanya merupakan potret kasus yang tak jelas penuntasannya, bahkan dengan sengaja penyelesaian kasus tersebut sengaja dibuat melayang-layang tanpa ada arah yang jelas. Belum tuntas penyelesaiannya justru sekarang yang terjadi adanya konflik di dalam tubuh internal lembaga hukum itu sendiri. Tentunya ini merupakan kenyataan yang sangat ironis, di tengah-tengah merebaknya berbagai aksi penyimpangan di Negara ini, justru lembaga hukumnya tidak mampu untuk menyelesaikannya karena bermasalah sendiri. Lalu yang menjadi pertanyaan kemudian, jika lembaga hukumnya saja sudah bermasalah bagaimana dengan perjalanan bangsa ini kedepan?
Melihat berbagai kasus hukum di Indonesia yang sedemikian peliknya, tentu membutuhkan berbagai terobosan baru dalam menggagas perjalanan hukum di Indonesia. Bukan hanya retorika namun dibutuhkan aksi yang tegas dari berbagaia pihak untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara KPK dan Polri ditambah lagi dengan kejaksaan agung. Kesadaran kolektif akan perananan sentral hukum dalam kehidupan bersama sebagai anggota masyarakat public harus perlakukan dan meletakan hukum dalam kerangka kesejahteraan bersama, bonum commune. Itu berarti menciptakan hukum dan menerapkan hukum secara adil merupakan kewajiban dan tanggungjawab moral segenap warga tanpa membebankan pada satu institusi semata.
Ya memang kita tidak bisa mengelak akan kegelapan perjalanan hukum yang ada di Indonesia dalam beberapa dekde terakhir. Dari rentetan kegelapan dalam dunia hukum negeri ini, kita hanya mengingatkan untuk kembali ke satu titik: introspeksi! Ya, baik yang bersifat perseorangan maupun bersifat kolektif dan kelembagaan. Sumber dari segala sumber munculnya masalah adalah mentalitas tamak materi dan kekuasaan, yang mendorong orang dengan memanfaatkan kekuatan institusinya untuk berpikir, bertindak, dan menjustifikasi semua perilakunya. Semua bergerak menjauh dari tujuan berhukum, yakni menggali dan memancarkan rasa keadilan rakyat.
Hal ini penting sebab tanpa adanya kesadaran hukum dalam masyarakat Indonesia sendiri, sampai kapanpun hukum yang dibangun akan terus terkalahkan dengan kemegahan dan kemerlapnya hal yang bersifat material. Sehingga esensi hukum itu sendiri mampu teraplikasi di masyarkat Indonesia sebagaimana hakikatnya, seperti apa yang pernah dikatakan oleh Montesquieu bahwa Hukum yang baik adalah hukum yang mampu melindungi berbagai kepentingan umum. Sedangkan tanda dari suatu masyarakat yang bebas ialah semua orang dimungkinkan untuk mengikuti kecenderungan mereka sendiri sepanjang mereka tidak melanggar hukum. Sehingga akan tertib sosial secara hukum, sebab hukum yang berlaku berlandaskan akan asas keadilan sebagai tujuan utamanya. Karena tanpa keadilan sebagai ultimnya (ultimate end) yang terjadi justru hukum akan terperosok menjadi alat pembenaran kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai.

Penulis adalah Direktur pada Center for Politic and Law Studies (CePoLS) Yogyakarta.
Hp. 081392627364
No Rek. 0112614335 BNI Cab. UGM a/n Miftakul Akla.


free counters

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Page Rank

Copyright © 2011 Green Ilmu | Splashy Free Blogger Templates with Background Images, Trucks