Eksploitasi: Sebuah Bagian Ekspresi

Sunday 30 May 2010

0 comments
DINAMIKA kebudayaan hadir dalam perjalanan proses kebudayaan-kesenian (sastra) dirasakan telah sampai pada titik jenuh, lemahnya pengelolaan (kebijakan) atas keberagaman seni-budaya yang ada oleh negara/daerah membawa dampak terkoyaknya persatuan dan kesatuan bangsa, berbagai konflik sosial yang terjadi hampir diseluruh wilayah di Indonesia ditambah krisis identitas yang dirasakan semakin memudar serta minimnya pengelolaan kekayaan budaya yang kasat mata (tangible) dan tidak kasat mata (intangible) dan berbagai masalah mendasar lainnya yang kian memberi dampak akan rapuhnya pemahaman, kesadaran, apresiasi kita atas kekayaan keragaman seni-budaya.
Untuk mencapai sebuah hasil yang diinginkan, pengawalan terhadap pola pengembangan dan adanya kesepahaman bersama dimana kebudayaan juga harus menjadi salah satu prioritas utama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara karena kebudayaan – kesenian; merupakan sebuah jalan yang akhirnya akan memberikan gambaran bahwa begitu beragamnya kondisi yang ada dimasyarakat menunjukan identitas kita dalam pembangunan karakter bangsa.
Bila dirunut ke belakang, kebudayaan juga erat dengan kehadiran sastra sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan. Sebab kebudayaan yang maju (berkembang) dapat dilihat dari penghargaan masyarakatnya terhadap sastra itu sendiri. Kebudayaan dan sastra adalah hal yang sangat kompleks sehingga cukup sulit untuk bisa diejawantahkan dalam kehidupan. Padahal ini adalah fondasi untuk menjadikan manusia seutuhnya. Ada tiga hal yang bisa menjadikan manusia sebagai insan mulia yakni: agama, etika dan sastra. Apabila ketiga hal ini sudah dimiliki seorang manusia, maka mulialah ia dimata manusia yang lain maupun pencipta kita. Tetapi bila kita tengok ke kenyataan yang ada, justru berkebalikan. Budaya dan sastra menjadi ikon yang dipandang sebelah mata, apalagi bagi kalangan elite, pejabat dan instansi pemerintahan.
Di sisi lain, ketika hal ini disikapi oleh simpatisan budaya dan sastra malah beberapa instansi terkait bersikap apatis. Sangat disayangkan instansi kebudayaan dan pendidikan tidak mau melibatkan personnya ke ranah ini. Padahal notabenenya adalah instansi pelindung dan bertanggungjawab untuk menaungi segenap apapun yang mengusung unsur budaya (sastra). Di dalam tubuh budaya terkandung nilai sastra untuk memanusiakan manusia. Di dalam sastra ada tanggungjawab moral untuk melindungi manusia dari kebobrokan, ada filteralisasi yang tidak langsung menjadi tameng manusia dalam berkehidupan. Namun dalam kurun waktu terakhir ini, banyak lahir seniman-seniman birokrat yang ‘katanya’ peduli dengan keberlangsungan seni – budaya.
Kalimantan Selatan merupakan kawasan yang egaliter, tidak hanya etnis Dayak dan Banjar tetapi hampir seluruh etnis dan subetnis suku yang ada di tanah air. Ini menunjukkan adanya akulturasi yang implisit terbangun dalam proses berkehidupan. Sehingga corak budayanya pun (agak) sedikit mengalami adopsi dan adaptasi mengikuti perjalanan budaya yang sama-sama bergulir seiring masa. Oleh karenanya, tidak menutup kemungkinan bila kelak budaya sebelumnya berubah menjadi budaya campuran yang statusnya mengalami klamisasi dalam periodik tertentu. Sebagai contoh adalah budaya Gong, awalnya budaya ini merupakan sarana penyiaran agama Islam ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali Kalimantan Selatan. Lambat-laun telah menjadi tradisi turun-temurun yang membudaya di setiap daerah yang notabenenya beragama Islam dan sebagai faktanya di tempat kita mengenal tradisi Wayang Gong. Sebuah pertautan silang antara budaya Hindu dan Islam, suatu nuansa – cikal bakal salah satu kesenian Banjar.
Seiring klamisasi tersebut kultur asli yang dianut masing-masing etnis juga mengalami pergolakan dan pergeseran budaya. Karakter kebudayaan memburam dalam situasi kehidupan yang nilainya melebur dalam menghargai budaya-budaya terbuka. Berbeda dengan situasi kultur yang tertutup, budayanya mampu bertahan tanpa tergerus arus egalisasi. Bukankah suatu kebudayaan akan ada dan tidak tergantung pelaku budayanya itu sendiri? Di sinilah sebenarnya kulminasi gerusan corak dalam berbudaya. Seniman yang sejatinya berbuat untuk keberlangsungan sebuah kebudayaan, juga dapat merusak dan menghancurkan nilai-nilai dalam budaya itu sendiri tak terkecuali. Belakangan ini terbukti dengan kehadiran seniman birokrat di daerah kita.

Lantas bagaimana bila eksploitasi dimaknakan ekspresi?
Berapa banyak lagi seniman dua puluh empat karat yang tersisa di Bumi Lambung Mangkurat ini? Kita semua angkat bahu, karena tahu perjuangan murni memerlukan pengorbanan dan tempaan yang luar biasa perihnya. Disamping itu juga memerlukan waktu yang tidak sebentar.
Berbeda dengan seniman birokrat yang tiba-tiba saja nyeni karena faktor jabatan dan kedudukan di suatu instansi. Inilah sebenarnya racun kebudayaan yang mengaburkan citra budayanya sendiri. Sebab, pada dasarnya mereka tidak memiliki kecakapan dan ilmu seni – budaya yang utuh. Sehingga pemahamannya terfirkah dan setengah-setengah. Dan sangat disayangkan mereka melakukan eksploitasi terhadap seniman-seniman yang secara ekonomi memerlukan bantuan untuk bisa bertahan.
Celakanya para seniman dengan sukarela dieksploitasi oleh seniman birokrat. Tidak hanya itu, penyasastranya pun demikian. Ini fatal! Sebab warna seni – budaya menjadi kabur karena kepentingan pihak tertentu. Seyogianya, semua kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan seni – budaya maka wajib hukumnya: penggerak, pelaksana, maupun penggagas menu seninya adalah pelaku seni (murni) itu sendiri! Ini tidak bisa ditawar lagi, karena memang merekalah yang tahu betul nadir kebudayaan, baik yang berskala regional maupun nasional. Tapi apakah hal ini juga berlaku di daerah kita?
Nilai kebudayaan tidak lagi berada dalam koridor yang pas. Ajang yang bermuatan seni – budaya – sastra kini sudah ditunggangi kepentingan-kepentingan kalangan tertentu. Bila eksploitasi dimaknakan ekspresi maka paham kebablasan ini telah salah kaprah. Perlu koreksi diri dulu kalau mau dikatakan seniman – budayawan – sastrawan yang benar. Dan tentunya perlu menghentikan eksploitasi terhadap seniman!
Mari kita berekspresi dalam kita!*
free counters

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Page Rank

Copyright © 2011 Green Ilmu | Splashy Free Blogger Templates with Background Images, Trucks