CATATAN SINGKAT TSI; SEBUAH REFLEKSI YANG PATUT DICAMKAN
(Refleksi Beberapa Event Nasional di Tahun 2009): Hudan Nur)*
KEGIATAN TEMU SASTRAWAN INDONESIA (TSI) yang berlangsung beberapa waktu lalu di Pangkalpinang, Bangka Belitung mengantungi banyak catatan bagi masing-masing peserta yang notabenenya sebagian besar adalah penulis. Ada banyak hal yang bisa dibawa pulang setelah perhelatan tersebut yang eksistensinya bagi sebagian kalangan yang ada di Indonesia masih abu-abu bahkan kurang diakui keberadaannya sebagai suatu ajang (pertemuan) yang sekaliber nasional. Betatapun kegiatan tersebut sudah tergolong berhasil dimana mendatangkan seratus limapuluhan peserta yang berasal dari penjuru tanah air dengan menghadirkan sejumlah pembicara dialog sastra antara lain: Agus R. Sarjono, Saut Situmorang, Yasraf Amir Piliang, Katrin Bandel, Zen Hae, Nenden Lilis Aisyah, Nurhayat Arif Permana, Radhar Panca Dahana, Zurmailis, John McGlynn, dsb. Pada TSI 2 kali ini meluncurkan dua antologi sastra yakni Pedas Lada Pasir Kuarsa (Puisi) dan Jalan Menikung Ke Bulit Timah (Cerpen), penerbitan antologi sastra semacam ini serupa dengan penerbitan di TSI 1 yang berlangsung tahun lalu di Propinsi Jambi.
Terlepas dari output kegiatan TSI 2 pada penulis generasi berikutnya, ada baiknya kita selaku pegiat sastra tahu bahwa kesusastraan Indonesia memang terfirkah-firkah adanya. Hal ini disebabkan berbagai kepentingan baik individu maupun kelompok, perbedaaan cara pandang, dan tingkat penempatan terhadap eksistensi diri selaku sastrawan yang eksklusif dan sangat berlebihan. Namun di luar itu semua perlu kita kembali kepada makna penulis dalam dunia kepenulisan yang sebenarnya. Penulis yang berhasil pastilah insan pengaruh, baik kepada individu tertentu maupun massa, eksplisit maupun insan. Penulis bahkan bisa melampaui zamannya, artinya pengaruh mereka melebihi ruang dan waktu setempat. Tulisan, ide, pemikiran, bisa menelusup dan mempengaruhi orang secara diam-diam, sampai akhirnya pemikiran itu mengendap dan menguat, menjadi sikap. Dengan pemikirannya, penulis menawarkan kesadaran tertentu, bahkan lewat sikap dan perbuatannya, penulis menawarkan nilai kepada banyak orang, terutama sekali pembaca dan peminat seni dan sastra. Entah pemikiran, sikap, cara pandang, dan perbuatan tersebut diterima atau ditolak masyarakat, itulah yang akan menjadi warisan budaya generasi berikutnya.
Tetapi hal tersebut nampaknya sudah dikesampingkan, dikalahkan oleh eksistensi para sastrawan dengan paham pemikiran yang beraneka pula. Sejak majalah sastra Indonesia; Horison diterbitkan dengan dua versi, sejak itu pulalah perbedaan menjamur di dunia sastra Indonesia, dampak yang sangat signifikan dapat dirasakan para pegiat sastra di daerah, terlebih yang kurang menyelami sejarah dan kebenaran dari dalam diri sastra itu sendiri. Parahnya lagi, sastra dijadikan ajang politik bagi elitenya dan pengkultusan diri lebih berkualitas dari yang lain menyebabkan jarak antar lintas generasi berikutnya yang seharusnya dibina justru terbinasakan karena satu dan lain hal. Sayangnya, bagi sebagian besar kalangan generasi muda tidak tahu benang merah akan kehadiran sastra Indonesia yang sebenarnya. Masih banyak diantara mereka yang tahunya hanya menulis saja (penulis yang lahir dari bakat alam) dan celakanya apa yang mereka tulis tanpa mengetahui kaidah dalam bersastra sehingga substansi dan eksotisitasnya terabaikan. Sebuah karya harus mengikuti tata aturan baku yang ada dan ini mutlak dalam berkarya, apapun jenisnya tak terkecuali dalam dunia sastra.
Berkaitan dengan kegiatan TSI 2 di Pangkalpinang, ada sejumlah kegiatan yang dibuat dalam rangka peningkatan kualitas khususnya pendatang baru di dunia sastra antara lain: Sastra Kepulauan, Ode Kampung, Aruh Sastra Kalimantan Selatan, Ubud Writers Award, Biennale Festival, dll. Khusus bagi Biennale Festival International, festival ini dikultus bagi internalnya sebagai temu sastrawan dalam dan luar negeri. Bagi yang pernah mengikutinya, maka dialah sastrawan Indonesia namun jika tidak diundang ataupun terlibat berarti bukan sastrawan dalam kacamata mereka. Hal ini kontan membuat lintas generasi berikutnya menjadi menjauh, belum lagi sejumlah media cetak yang memuat rubrik sastra dikelola oleh redaktur yang berpaham golongan. Inilah yang menjadikan keberagaman dalam citra penulisan, khususnya puisi sehingga eksploitasi kualitas terabaikan. Selera dan keberpihakan kepada golongan sangat mempengaruhi perjalanan sastra Indonesia yang didokumentasikan dalam bentuk cetakan karya di media Koran, majalah dan bulletin Indonesia.
Ini juga penyebab hampir gagalnya kegiatan TSI 2 di Pangkalpinang, adanya sinyalemen dari pihak tertentu yang menganggap TSI 2 bermuatan politik bahkan blokade pihak baru bagi kesusastraan Indonesia. Namun, TSI 2 tetap berjalan sesuai amanah TSI sebelumnya di Propinsi Jambi. Beruntunglah bagi penulis yang berasal dari daerah yang masih murni, tidak terjebak dalam kebermaknaan golongan yang berlapis-lapis. Eksotisitas alam dalam nuansa lokal adalah fentilasi utama dalam menelurkan maha karya abadi yang hanya bisa diangkat oleh putra daerah.
APA KABAR SASTRA DI PALU?
Ada baiknya kita juga membenahi diri menyoal sastra di Palu (khususnya) yang hanya memandang sastra (puisi, cerpen, dan esai) hanya sebatas pengumpulan karya sastra dengan kualitas yang perlu dipertanyakan. Mengingat kehidupan sastra di Kota Palu masih prematur dan tumbuh cacat dalam artian tidak normal dalam berkehidupan sastranya. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan kecacatan tersebut antara lain faktor media, kritikus sastra, dan ranah dalam fentilasi lokal. Faktor utama yang bisa memajukan sastra secara universal di Sulawesi Tengah adalah media. Sangat disayangkan, belum ada media yang memberikan keluasan bagi penulis dan masyarakat sastra untuk menuangkan (alihterasi) dari tradisi lisan ke karya sastra mutakhir.
Mudah-mudahan ada respon positif bagi masyarakat sastra dan media lokal dalam memajukan sastra di Kota Palu. Semoga! []
Terlepas dari output kegiatan TSI 2 pada penulis generasi berikutnya, ada baiknya kita selaku pegiat sastra tahu bahwa kesusastraan Indonesia memang terfirkah-firkah adanya. Hal ini disebabkan berbagai kepentingan baik individu maupun kelompok, perbedaaan cara pandang, dan tingkat penempatan terhadap eksistensi diri selaku sastrawan yang eksklusif dan sangat berlebihan. Namun di luar itu semua perlu kita kembali kepada makna penulis dalam dunia kepenulisan yang sebenarnya. Penulis yang berhasil pastilah insan pengaruh, baik kepada individu tertentu maupun massa, eksplisit maupun insan. Penulis bahkan bisa melampaui zamannya, artinya pengaruh mereka melebihi ruang dan waktu setempat. Tulisan, ide, pemikiran, bisa menelusup dan mempengaruhi orang secara diam-diam, sampai akhirnya pemikiran itu mengendap dan menguat, menjadi sikap. Dengan pemikirannya, penulis menawarkan kesadaran tertentu, bahkan lewat sikap dan perbuatannya, penulis menawarkan nilai kepada banyak orang, terutama sekali pembaca dan peminat seni dan sastra. Entah pemikiran, sikap, cara pandang, dan perbuatan tersebut diterima atau ditolak masyarakat, itulah yang akan menjadi warisan budaya generasi berikutnya.
Tetapi hal tersebut nampaknya sudah dikesampingkan, dikalahkan oleh eksistensi para sastrawan dengan paham pemikiran yang beraneka pula. Sejak majalah sastra Indonesia; Horison diterbitkan dengan dua versi, sejak itu pulalah perbedaan menjamur di dunia sastra Indonesia, dampak yang sangat signifikan dapat dirasakan para pegiat sastra di daerah, terlebih yang kurang menyelami sejarah dan kebenaran dari dalam diri sastra itu sendiri. Parahnya lagi, sastra dijadikan ajang politik bagi elitenya dan pengkultusan diri lebih berkualitas dari yang lain menyebabkan jarak antar lintas generasi berikutnya yang seharusnya dibina justru terbinasakan karena satu dan lain hal. Sayangnya, bagi sebagian besar kalangan generasi muda tidak tahu benang merah akan kehadiran sastra Indonesia yang sebenarnya. Masih banyak diantara mereka yang tahunya hanya menulis saja (penulis yang lahir dari bakat alam) dan celakanya apa yang mereka tulis tanpa mengetahui kaidah dalam bersastra sehingga substansi dan eksotisitasnya terabaikan. Sebuah karya harus mengikuti tata aturan baku yang ada dan ini mutlak dalam berkarya, apapun jenisnya tak terkecuali dalam dunia sastra.
Berkaitan dengan kegiatan TSI 2 di Pangkalpinang, ada sejumlah kegiatan yang dibuat dalam rangka peningkatan kualitas khususnya pendatang baru di dunia sastra antara lain: Sastra Kepulauan, Ode Kampung, Aruh Sastra Kalimantan Selatan, Ubud Writers Award, Biennale Festival, dll. Khusus bagi Biennale Festival International, festival ini dikultus bagi internalnya sebagai temu sastrawan dalam dan luar negeri. Bagi yang pernah mengikutinya, maka dialah sastrawan Indonesia namun jika tidak diundang ataupun terlibat berarti bukan sastrawan dalam kacamata mereka. Hal ini kontan membuat lintas generasi berikutnya menjadi menjauh, belum lagi sejumlah media cetak yang memuat rubrik sastra dikelola oleh redaktur yang berpaham golongan. Inilah yang menjadikan keberagaman dalam citra penulisan, khususnya puisi sehingga eksploitasi kualitas terabaikan. Selera dan keberpihakan kepada golongan sangat mempengaruhi perjalanan sastra Indonesia yang didokumentasikan dalam bentuk cetakan karya di media Koran, majalah dan bulletin Indonesia.
Ini juga penyebab hampir gagalnya kegiatan TSI 2 di Pangkalpinang, adanya sinyalemen dari pihak tertentu yang menganggap TSI 2 bermuatan politik bahkan blokade pihak baru bagi kesusastraan Indonesia. Namun, TSI 2 tetap berjalan sesuai amanah TSI sebelumnya di Propinsi Jambi. Beruntunglah bagi penulis yang berasal dari daerah yang masih murni, tidak terjebak dalam kebermaknaan golongan yang berlapis-lapis. Eksotisitas alam dalam nuansa lokal adalah fentilasi utama dalam menelurkan maha karya abadi yang hanya bisa diangkat oleh putra daerah.
APA KABAR SASTRA DI PALU?
Ada baiknya kita juga membenahi diri menyoal sastra di Palu (khususnya) yang hanya memandang sastra (puisi, cerpen, dan esai) hanya sebatas pengumpulan karya sastra dengan kualitas yang perlu dipertanyakan. Mengingat kehidupan sastra di Kota Palu masih prematur dan tumbuh cacat dalam artian tidak normal dalam berkehidupan sastranya. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan kecacatan tersebut antara lain faktor media, kritikus sastra, dan ranah dalam fentilasi lokal. Faktor utama yang bisa memajukan sastra secara universal di Sulawesi Tengah adalah media. Sangat disayangkan, belum ada media yang memberikan keluasan bagi penulis dan masyarakat sastra untuk menuangkan (alihterasi) dari tradisi lisan ke karya sastra mutakhir.
Mudah-mudahan ada respon positif bagi masyarakat sastra dan media lokal dalam memajukan sastra di Kota Palu. Semoga! []
)* Ketua Divisi Sastra dan Tradisi Lisan
Yayasan Tadulakota’ Propinsi Sulawesi Tengah
0 comments:
Post a Comment