Menimbang Keberhasilan SBY-Budiyono
Oleh : Miftahul A’la*
Kemenangan SBY dalam laga kompetisi memperebutkan kursi kepresidenan ternyata menimbulkan berbagai reaksi yang sangat santer di kalangan masyarakat. Semua itu bukan lantaran terpilihnya kembali SBY menjadi presiden untuk periode 2009-2014, namun lebih karena disebabkan berbagai janji yang digembor-gemborkan selama kampanye hingga detik ini belum mampu untuk direalisasikan. Sehingga memicu kemarahan dari berbagai kalangan, mulai kalangan rakyat jelata hingga para akademi dan tidak lupa sebagian elit politik mengecam masa kepemerintahan SBY yang tidak “mampu” untuk melakukan perubahan di tingkat dasar. Bahkan program yang dirancangkan dalam 100 hari ternyata justru memicu kemarahan rakyat yang mulai sudah tidak percaya dengan kinerja pemerintahan SBY jilid II sekarang ini.
Program 100 hari SBY yang semestinya dijadikan ajang untuk menindaklanjuti program yang akan dilakukan justu dijadikan moment tepat oleh rakyat untuk terus menagih janji dan mengkritik berbagai kebijakannya yang dinilai akan menyengsarakan bangsa ini. Berbagai gunjingan, cacian makian serta olok-olokan semuanya dikeluarkan dan kembali disuarakan oleh rakyat dalam menyikapi program 100 hari SBY yang memang sangat kelihatan sekali tidak ada keterpihakan terhadap rakyatnya terutama kalangan grassroot.
Bisa kita saksikan dengan mata telanjang belum sempat genap satu tahun masa kepemerintahan SBY jilid II ini berbagai kebijakan yang diambil selalu menempatkan urusan elite penguasa sebagai orang yang harus didahulukan. Bayangkan saja mulai dari pembelian mobil baru untuk para menteri yang bernilai 1,3 milyar perbuahnya, perbaikan rumah dinas, pengadaan tunjangan, pembelian pesawat pribadi presiden dengan nilai 200 milyar dan yang lebih parah lagi dalam waktu dekat gaji para anggota dewan akan dinaikan entah seratus atau seribu persen.
Jika memang semua kebijakan dan fasilitas yang diberikan mampu memicu kerja mereka yang duduk dipemerintahan, tentunya bukan masalah besar. Karena apa yang mereka lakukan sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Tetapi dalam hal ini tentu kenyataanya sangat berbeda. Dengan diberikan berbagai fasilitas yang begitu megah ternyata justru semakin membuat terlena dan menambah kebodohan hingga kerbau saja yang tidak tahu menahu sampai dibawa menjadi pokok bahasan oleh anggota parlemen. Tentu ini merupakan kenyataan yang sagat tragis sekali. Di tengah-tengah masyarakatnya yang menderita dan kemiskinan yang merajalela dengan entengnya pemerintah merasa cuek dan hanya mementingkan diri sendiri.
Itu semua masih ditambah lagi oleh statemen presiden yang tidak masuk akal dan kelihatan sangat norak. Sebab SBY mengatakan bahwa terkait dengan programnya 100 hari berdasarkan pemonitoran UKP4 bahwa target yang dicapai dalam program 100 hari sudah 99 persen lebih berhasil. Pencapaian yang dinilai berhasil ini mencakup tiga kategori. Pertama yang digolongkan dalam quick wins, seperti program yang terhambat pada masa pemerintahan sebelumnya, seperti misalnya revitalisasi kredir rakyat kecil (KUR), sertifikasi pertanahan, penyediaan air minum di 1.440 desa dan internet untuk sekolah sebanyak 18.358. Kedua program mengatasi bottlenecking (penyumbatan) dan ketiga adalah masalah instrument atau penyusunan regulasi untuk pedoman dan implementasi pada tahun ini dan yang akan datang. (kompas, 4/2/2010)
Kemrosotan Moralitas Bangsa
Berbagai fakta semacam ini yang justru semakin membuat geram rakyat Indonesia dengan kepemerintahan sekarang. Dengan pernyataan presiden tersebut justru semakin menyulut api kemarahan rakyat kecil. Bagaimana mungkin berbagai pencapaian-pencapaian yang bisa dikatakan “kecil” seperti itu mampu membuat bangga SBY dan kroni-kroninya di atas sana. Sedangkan berbagai isu pubik yang begitu besar dan menentukan masa depan bangsa-negara justru sama sekali tidak terselesaikan. Lihat saja kasus korupsi yang semakin merajelela dan kasus bank century yang sudah sangat jelas sekali merugikan negara sebanyak 6,7 triliyun belum mampu terselesaikan. Padahal secara ekplisit siapa yang ada dibalik semua itu sudah kelihatan. Belum lagi kalau berbagai isu tentang berbagai pelanggaran HAM, kemiskinan, penggusuran dan banyak lagi kebijakan yang selalu memposisikan rakyat kecil sebagai “tertindas”. Apa semua itu tidak cukup mewakili untuk mengatakan dan mengungkapkan kegagalan SBY dan kroni-kroninya dalam membangun masa depan bangsa ini? Lantas jika ukurannya hanya keberhasilan yang kecil lalu bagaimana dengan berbagai persoalan besar yang menentukan masa depan bangsa ini?
Kenyataan yang sedemikian suramnya semakin membuat masayarakat menjadi saangat galau dan bingung. Tidak mengherankan jika kemudian muncul berbagai komentar negative tentang para elit penguasa. Sangat disesalkan memang karena para elite penguasa yang semesntinya sibuk bekerja keras untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa sudah menjadi bagian dari mereka yang semakin memperkeruh keadaan.
Dalam bahasanya Komaruddin Hidayat:2006 lebih mudahnya dikenal dengan kemrosotan moralitas bangsa. Dimana para elite penguasa sudah mulai kelilangan moralitas sehingga tidak mampu melihat dan diri sendir dan hanya mencari jalan aman sendiri, tidak mau dipersalahkan dan hanya menyalahkan orang lain yang mengingatkannya. Tentu ini merupakan ironi dalam kepememimpinan sebuah negara. Karena sifat integritas, amanah dalam diri pemimpin seperti ini sudah mulai terkikis dan digantikan dengan materi dan kekuasaan. Sehingga dapat dilihat apa yang akan terjadi jika negara dipimpin orang yang semacam ini.
Sangat menyedihkan sekali memang meskipun bangsa ini terkenal dengan sumber daya alam yang melimah ruah, namun dapat kita lihat bagaimana kesejahteraan rakyatnya sangat minim sekali dan jauh dari kata tercukupi, belum lagi ditambah dengan masih memikul hutang luar negeri yang sudah tidak bisa dijumlahkan berapa besarnya. Sementara pengangguran semakin meningkat, khas negara semakin menipis, investor asing semakin menjadi raja, dan produk-produk luar semakin menjajah, lalu apa yang bisa dibanggakan oleh bangsa ini, dan standart apa yang dipakai oleh pemerintahan SBY kok bisa-bisanya dengan enteng mengatakan 99 persen programnya 100 hari sudah sukses? Kalau cuma untuk mengurusi hal-hal yang sepele seperti penyediaan air minum dan lain sebagainya petani saja bisa menyelesaikannya tanpa harus duduk di kursi pemerintahan. Lalu sebenarnya standart yang bagaimana yang dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan program pemerintah?
Penulis adalah Direktur pada Center for Politic and Law Studies (CePoLS) Yogyakarta. Hp. 081392627364
No Rek. 0112614335 BNI Cab. UGM a/n Miftakul Akla.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment