(Tanggapan Hentikan Eksploitasi Seniman di Mercusuar 11 Februari 2010)
APAKAH bila sudah beberapa kali berkarya dikatakan seniman? Apakah bila sudah menulis puisi dan dibukukan dikatakan penyair? Apakah memang begitu klaimisasi seni di ranah nagari kita ini? Ah.
Oleh: Hudan Nur
Tulisan yang dibuat oleh seorang Jamrin Abubakar beberapa waktu lalu membuat nelangsa dan miris. Ditambah lagi fakta akan kualitas berkesenian yang pelakunya sendiri tidak tahu standar berkesenian di era sekarang (masih berkiblat ke barat). Sehingga originalitas dan flagiator kesenian tidak bisa dibedakan oleh kacamata para pelaku seni di Kota Palu.
Seperti kasus karya-karya M. Djaruddin Abdullah yang secara terang-terangan di flagiat oleh Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2007, tidak mendapat respon apa-apa. Padahal kalau ditelaah lebih jauh, perbuatan yang dilakukan oleh seorang Kadis tersebut termasuk ke dalam kasus pidana. Ini perlu digarisbawahi dan ditindaklanjuti sebab menurut informan karya tersebut telah dibukukan dan beredar di Yogyakarta dan sekitarnya atas nama Kadis tersebut. Hal ini sangat memalukan, dan perlu diusut secara tegas.
Barangkali mengingat minimnya cakrawala berpikir dan berkreasi sehingga jabatan bisa dijadikan mobilisasi dalam mengklaim karya orang sebagai karya sendiri. Oh, Tuhan ampuni dosanya!
Dilain pihak, ketika seniman birokrat dengan gayanya yang menjenuhkan mencoba merangkul kembali bahu para seniman murni maka yang harus dilakukakan oleh seniman murni adalah melawannya. Sebab disadari atau tidak, hidup adalah pilihan dan jangan sampai pilihan yang memilihkan kita. Sehingga, kita bisa memihak dan memilah yang mana kawan, yang mana lawan, dan kita jangan pernah merasa takut karena kekuasaan, sebab semuanya telah terfirkah-firkah adanya.
Seyogianya juga eksploitasi seniman memang harus dihentikan. Namun bagaimana bila ada beberapa oknum (seniman) yang senang dengan eksploitasi semacam ini? Jawabannya kembali ke diri seniman itu sendiri dan pantaslah yang demikian disebut pengkhianat seni! Maka berhati-hatilah hai para seniman yang mempunyai ide brilian jangan sampai ide cemerlangmu terlontar ketika diwicarakan dengan seniman birokrat karena dengan gamblang ide tersebut akan dicaplok sebagai idenya.
Lalu, mengenai standarisasi seorang dikatakan seniman atau teaterawan atau penyair itu bagaimana? Apakah dengan beberapa kali menulis puisi dan dibukukan dikatakan penyair? Mudah betul kalau begitu! Padahal di Indonesia ada badan standar yang bisa mengukur kualitas karya penulis lewat media yakni antara lain seperti Majalah Horison, Kompas, Pawon Sastra, Lebah, Republika, Media Indonesia, dan Tempo. Lalu dalam teater antara lain: ada Federasi Teater Indonesia, Mimbar Teater Indonesia, Katimuri, dsb. Begitu juga dalam hal rupa, kriya, musik, dan tari. Memang ada standar baku penilaian mutu yang berkiblat ke barat dan timteng.
Lantas bagaimana bila eksploitasi dimaknakan ekspresi?
Menurut hasil pertemuan Dewan Kesenian se-Indonesia di Malang beberapa tahun silam, bahwasanya semua kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan seni maka wajib hukumnya penggerak, pelaksana, maupun penggagas menu seninya adalah pelaku seni pribumi (murni) itu sendiri! Ini tidak bisa ditawar lagi, karena memang merekalah yang tahu betul nadir kesenian, baik yang berskala regional maupun nasional. Tapi apakah hal ini juga berlaku di Kota kita?
Apa Kabar Dewan Kesenian Palu (DKP)?
Kesemangatan sebagian para anggota DKP dalam berkesenian perlu kita tanggapi dengan positif, karena dimana-mana yang namanya dewan pasti ada pro-kontra. Tetapi itu dilema yang mesti ada dalam berkehidupan organisasi termasuk kesenian. Namun yang disayangkan apabila ada oknum-oknum yang hanya tahu sedikit tentang kesenian, malah berkoar menyoal seni bergema-gema. Padahal substansi seni yang hakiki belum ia miliki dan terapkan dengan benar sebenar-benarnya.
DKP periode baru ini mengakomodir seluruh kalangan dengan berbagai komposisi lewat bias manapun, atau bila dikatakan lebih gamblang merekrut seluruh kalangan. Ini positifnya, namun kelemahannya: ada kalangan yang baru kemarin tercebur ke kesenian sudah memploklamirkan dirinya sebagai seniman sejati. Wah ini kebablasan namanya! Seolah-olah ia tahu banyak tentang kesenimanan padahal baru sebibir pantai ia rasai asin garam kesenian. Mesti kita ketahui juga bahwa garam itu asin, tetapi asin bukan berarti lautan bukan?
Belum lagi polemik persepsi yang beraneka. Itu lumrah adanya. Tetapi, satu hal yang harus diingat Dewan Kesenian tidak seporsi dengan komunitas atau sanggar kesenian karena dewan adalah puncak tertinggi dalam hirarki kesenian. Ia menaungi semua sub-aspek kesenian, ini berarti ia juga harus mempunyai persepsi kedewanan yang benar. Banyak yang belum mengerti dengan ini. Sehingga kinerja kedewanan bisa berjalan dengan seharusnya, dan ini memerlukan energi untuk mensinergikannya, dan setiap kita adalah aset seni-budaya yang harus mendukung keberlangsungan kesenian di Kota Teluk ini. Mari kita berekspresi dalam kita!
Seperti kasus karya-karya M. Djaruddin Abdullah yang secara terang-terangan di flagiat oleh Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2007, tidak mendapat respon apa-apa. Padahal kalau ditelaah lebih jauh, perbuatan yang dilakukan oleh seorang Kadis tersebut termasuk ke dalam kasus pidana. Ini perlu digarisbawahi dan ditindaklanjuti sebab menurut informan karya tersebut telah dibukukan dan beredar di Yogyakarta dan sekitarnya atas nama Kadis tersebut. Hal ini sangat memalukan, dan perlu diusut secara tegas.
Barangkali mengingat minimnya cakrawala berpikir dan berkreasi sehingga jabatan bisa dijadikan mobilisasi dalam mengklaim karya orang sebagai karya sendiri. Oh, Tuhan ampuni dosanya!
Dilain pihak, ketika seniman birokrat dengan gayanya yang menjenuhkan mencoba merangkul kembali bahu para seniman murni maka yang harus dilakukakan oleh seniman murni adalah melawannya. Sebab disadari atau tidak, hidup adalah pilihan dan jangan sampai pilihan yang memilihkan kita. Sehingga, kita bisa memihak dan memilah yang mana kawan, yang mana lawan, dan kita jangan pernah merasa takut karena kekuasaan, sebab semuanya telah terfirkah-firkah adanya.
Seyogianya juga eksploitasi seniman memang harus dihentikan. Namun bagaimana bila ada beberapa oknum (seniman) yang senang dengan eksploitasi semacam ini? Jawabannya kembali ke diri seniman itu sendiri dan pantaslah yang demikian disebut pengkhianat seni! Maka berhati-hatilah hai para seniman yang mempunyai ide brilian jangan sampai ide cemerlangmu terlontar ketika diwicarakan dengan seniman birokrat karena dengan gamblang ide tersebut akan dicaplok sebagai idenya.
Lalu, mengenai standarisasi seorang dikatakan seniman atau teaterawan atau penyair itu bagaimana? Apakah dengan beberapa kali menulis puisi dan dibukukan dikatakan penyair? Mudah betul kalau begitu! Padahal di Indonesia ada badan standar yang bisa mengukur kualitas karya penulis lewat media yakni antara lain seperti Majalah Horison, Kompas, Pawon Sastra, Lebah, Republika, Media Indonesia, dan Tempo. Lalu dalam teater antara lain: ada Federasi Teater Indonesia, Mimbar Teater Indonesia, Katimuri, dsb. Begitu juga dalam hal rupa, kriya, musik, dan tari. Memang ada standar baku penilaian mutu yang berkiblat ke barat dan timteng.
Lantas bagaimana bila eksploitasi dimaknakan ekspresi?
Menurut hasil pertemuan Dewan Kesenian se-Indonesia di Malang beberapa tahun silam, bahwasanya semua kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan seni maka wajib hukumnya penggerak, pelaksana, maupun penggagas menu seninya adalah pelaku seni pribumi (murni) itu sendiri! Ini tidak bisa ditawar lagi, karena memang merekalah yang tahu betul nadir kesenian, baik yang berskala regional maupun nasional. Tapi apakah hal ini juga berlaku di Kota kita?
Apa Kabar Dewan Kesenian Palu (DKP)?
Kesemangatan sebagian para anggota DKP dalam berkesenian perlu kita tanggapi dengan positif, karena dimana-mana yang namanya dewan pasti ada pro-kontra. Tetapi itu dilema yang mesti ada dalam berkehidupan organisasi termasuk kesenian. Namun yang disayangkan apabila ada oknum-oknum yang hanya tahu sedikit tentang kesenian, malah berkoar menyoal seni bergema-gema. Padahal substansi seni yang hakiki belum ia miliki dan terapkan dengan benar sebenar-benarnya.
DKP periode baru ini mengakomodir seluruh kalangan dengan berbagai komposisi lewat bias manapun, atau bila dikatakan lebih gamblang merekrut seluruh kalangan. Ini positifnya, namun kelemahannya: ada kalangan yang baru kemarin tercebur ke kesenian sudah memploklamirkan dirinya sebagai seniman sejati. Wah ini kebablasan namanya! Seolah-olah ia tahu banyak tentang kesenimanan padahal baru sebibir pantai ia rasai asin garam kesenian. Mesti kita ketahui juga bahwa garam itu asin, tetapi asin bukan berarti lautan bukan?
Belum lagi polemik persepsi yang beraneka. Itu lumrah adanya. Tetapi, satu hal yang harus diingat Dewan Kesenian tidak seporsi dengan komunitas atau sanggar kesenian karena dewan adalah puncak tertinggi dalam hirarki kesenian. Ia menaungi semua sub-aspek kesenian, ini berarti ia juga harus mempunyai persepsi kedewanan yang benar. Banyak yang belum mengerti dengan ini. Sehingga kinerja kedewanan bisa berjalan dengan seharusnya, dan ini memerlukan energi untuk mensinergikannya, dan setiap kita adalah aset seni-budaya yang harus mendukung keberlangsungan kesenian di Kota Teluk ini. Mari kita berekspresi dalam kita!
Penulis adalah Pegiat di Kostra Latarnusa sekaligus Anggota DKP
0 comments:
Post a Comment