HAMIL EKSPERIMENTAL LAHIRKAN GUMAM ASA
(Ngoni so pe cara bakugumam. Lanjut Jo!)
: Hudan Nur)*
BILA rahasia menempati posisi penting dalam hasil sebuah karya maka jangan ‘paksakan’ untuk menjadi ‘harus jelas’. Begitulah kausalitas seorang Ali Syamsudin Arsi (ASA) dalam eksplorasi karya yang disebutnya sebagai gumam. Awalnya pada pertengahan 2008 yang lewat ASA memperlihatkan kepada saya hardcopy gumam-gumamnya tersebut. Kala itu saya dan beberapa teman yang lain belum memberi reaksi apapun. Hanya saja bagi saya, ASA merupakan seorang yang tidak memakai genre yang orang lain pakai. Barangkali baginya mencari jalannya sendiri itu lebih menjadi, ketimbang harus ikut dalam aliran tertentu.
Dari tiga buku kumpulan gumam; Negeri Benang pada Sekeping Papan (Januari 2009), TUBUH di Hutan-Hutan (Desember 2009), dan Istana Daun Retak (April 2010) dengan selang waktu penerbitan yang jaraknya tidak begitu lama. Ada beberapa hal yang menggelitik saya, selain substansi dan cara penyuguhan gumam ke pembacanya.
Pertama, dari empat belas hal yang ditulis ASA pada Istana Daun Retak; Alangkah Indahnya Rindu, Raja-raja Menikmati Istana, Anak-anak Turun Gunung, Seorang Perempuan Danau, “T”, Gumam Selain Gumam, Istana Daun Retak, Hujan Tipis-tipis, Menari Puisi-puisi, Gumam Dalam Tafsir Rindu, Cempaka, Istana Tanpa Hati, Dan Bencana Itu, dan Gumam Kepada Gumam, membuat pembaca sastra serius ikut mengerutkan kening karena mantra. Bahkan banyak yang terjebak dalam persoalan aturan simetri dalam sebuah keharusan sastra. Sebagai hasil cipta dan rasa, sastra lahir dari kekreatifitasan dan daya kontemplasi yang penuh. Dalam sastra tidak ada batasan harus begini, harus begitu, karena sastra bukan linguistik yang memiliki keterbatasan dan segenap aturan pengikat agar padu. Dari sinilah semuanya dimulai: Imajinasi liar dan kebebasan kreatifitas. Bahkan seorang ASA sekalipun, puluhan tahun yang lewat dia konak hingga klimaks. Jeda waktu yang tidak lama, ASA hamil dalam waktu yang cukup lama, bahkan bertahun-tahun. Dari kehamilan inilah, ia lahirkan anak-anak kandungnya yang disebutnya gumam.
Kedua, hasil hamil eksperimentalnya ASA tersebut menjadikan karyanya tidak prematur, berbeda dengan karya-karya generasi pembebek yang banyak dijumpai di media cetak dan dunia maya. ASA suguhnya gumam sebagai nuansa baru untuk warna kesusastraan Indonesia, yang pada substansinya tidak jauh berbeda dari yang ada. Kata gumam, lekat di indra dengar kita seperti ngedumel, ngoceh dan sebenarnya gumam hanyalah istilah untuk menyuarakan kegelisahan, sudut pandang ASA terhadap sesuatu apapun itu yang sempat terekam langsung dalam perjalanan hidupnya. Maka, pangkal persoalan yang demikianlah kenapa hamil eksperimental itu dilakoni ASA.
Ketiga, semiotika yang dicitrakan ASA bukan untuk dinikmati melainkan untuk direnungkan dan disikapi, karena gumam-gumam didedikasikan ASA untuk mengingatkan terhadap sesuatu. Seperti gumam asa yang berjudul Anak-anak Turun Gunung (IDH hal: 10-13) ;
Keempat, produksi penerbitan buku-buku gumam ASA yang jaraknya tidak berselang lama membuat pribadi saya tercenung. Ada beberapa alasan yang barangkali bagi penulisnya telah hamil anak-anak kembar. Hingga dengan waktu yang hampir bersamaan melahirkan lagi gumam terhadap persoalan-persoalan, himpitan-himpitan serta nadir kulminasi seorang manusia khususnya di Kalimantan Selatan serta beberapa perjalanan yang direkamnya dalam memori adanya. Atau barangkali mantra gumam memang dibuat penulisnya sedemikian rupa, tanpa jeda dan bertubi-tubi. Bahkan kabar terakhir yang saya dengar, ASA telah menyempurkan buku gumamnya yang keempat dan sudah siap terbit.
Kelima, pada akhirnya saya harus mengakui tanpa mengurangi nilai substansi dari gumam ASA itu sendiri, nilai estetik masih terlihat kendati penulisnya buat untuk terlihat dan terkesan kacau, tidak beraturan tetapi keanggunan gumam biasnya dapat dipantulkan lewat kaca makna yang tabirnya tidak ditutupi apapun. Tema yang lugas dikemas dengan nuansa gumam membuat karya ASA patut untuk dicermati, dan dalam bagaimanapun gumam adalah bagian dari puisi yang lahir dari kehamilan eksperimental penulisnya. Ngoni so pe cara bakugumam. Lanjut Jo!
Dari tiga buku kumpulan gumam; Negeri Benang pada Sekeping Papan (Januari 2009), TUBUH di Hutan-Hutan (Desember 2009), dan Istana Daun Retak (April 2010) dengan selang waktu penerbitan yang jaraknya tidak begitu lama. Ada beberapa hal yang menggelitik saya, selain substansi dan cara penyuguhan gumam ke pembacanya.
Pertama, dari empat belas hal yang ditulis ASA pada Istana Daun Retak; Alangkah Indahnya Rindu, Raja-raja Menikmati Istana, Anak-anak Turun Gunung, Seorang Perempuan Danau, “T”, Gumam Selain Gumam, Istana Daun Retak, Hujan Tipis-tipis, Menari Puisi-puisi, Gumam Dalam Tafsir Rindu, Cempaka, Istana Tanpa Hati, Dan Bencana Itu, dan Gumam Kepada Gumam, membuat pembaca sastra serius ikut mengerutkan kening karena mantra. Bahkan banyak yang terjebak dalam persoalan aturan simetri dalam sebuah keharusan sastra. Sebagai hasil cipta dan rasa, sastra lahir dari kekreatifitasan dan daya kontemplasi yang penuh. Dalam sastra tidak ada batasan harus begini, harus begitu, karena sastra bukan linguistik yang memiliki keterbatasan dan segenap aturan pengikat agar padu. Dari sinilah semuanya dimulai: Imajinasi liar dan kebebasan kreatifitas. Bahkan seorang ASA sekalipun, puluhan tahun yang lewat dia konak hingga klimaks. Jeda waktu yang tidak lama, ASA hamil dalam waktu yang cukup lama, bahkan bertahun-tahun. Dari kehamilan inilah, ia lahirkan anak-anak kandungnya yang disebutnya gumam.
Kedua, hasil hamil eksperimentalnya ASA tersebut menjadikan karyanya tidak prematur, berbeda dengan karya-karya generasi pembebek yang banyak dijumpai di media cetak dan dunia maya. ASA suguhnya gumam sebagai nuansa baru untuk warna kesusastraan Indonesia, yang pada substansinya tidak jauh berbeda dari yang ada. Kata gumam, lekat di indra dengar kita seperti ngedumel, ngoceh dan sebenarnya gumam hanyalah istilah untuk menyuarakan kegelisahan, sudut pandang ASA terhadap sesuatu apapun itu yang sempat terekam langsung dalam perjalanan hidupnya. Maka, pangkal persoalan yang demikianlah kenapa hamil eksperimental itu dilakoni ASA.
Ketiga, semiotika yang dicitrakan ASA bukan untuk dinikmati melainkan untuk direnungkan dan disikapi, karena gumam-gumam didedikasikan ASA untuk mengingatkan terhadap sesuatu. Seperti gumam asa yang berjudul Anak-anak Turun Gunung (IDH hal: 10-13) ;
...
Aroma daun sup di pinggir jalan, sebuah kampung menawarkan. Sepanjang jalan, kiri dan kanan, hamparan menghijau di halaman rumah, samping rumah, belakang rumah, bahkankalaupun juga dapat di dalam rumah dengan batas pagar dari rancangan sederhana dari bahan sederhanadengan mimpi terselipdi kedua belah bibir-bibir mungil yang sederhana. Bukan hanya sepi sekeliling. Kita dalam posisi terkepung oleh berbagai jenis ragam macam, padahal.
...
Anak-anak turun gunung. Anak-anak turun gunung. Bentuk nyata dari rasa kerinduan terhadap kelayakan hidup, tidak dalam mempertahankan wacana-wacana pembohongan, keculasan, sementara kemiskianan dianggap tidak pernah ada dalam setiap laporan, akh, perjalanan berjenis apa dan mau dibawa ke mana gemericik air sejuk bening ini akhirnya.
Aroma daun sup di pinggir jalan, sebuah kampung menawarkan. Sepanjang jalan, kiri dan kanan, hamparan menghijau di halaman rumah, samping rumah, belakang rumah, bahkankalaupun juga dapat di dalam rumah dengan batas pagar dari rancangan sederhana dari bahan sederhanadengan mimpi terselipdi kedua belah bibir-bibir mungil yang sederhana. Bukan hanya sepi sekeliling. Kita dalam posisi terkepung oleh berbagai jenis ragam macam, padahal.
...
Anak-anak turun gunung. Anak-anak turun gunung. Bentuk nyata dari rasa kerinduan terhadap kelayakan hidup, tidak dalam mempertahankan wacana-wacana pembohongan, keculasan, sementara kemiskianan dianggap tidak pernah ada dalam setiap laporan, akh, perjalanan berjenis apa dan mau dibawa ke mana gemericik air sejuk bening ini akhirnya.
Keempat, produksi penerbitan buku-buku gumam ASA yang jaraknya tidak berselang lama membuat pribadi saya tercenung. Ada beberapa alasan yang barangkali bagi penulisnya telah hamil anak-anak kembar. Hingga dengan waktu yang hampir bersamaan melahirkan lagi gumam terhadap persoalan-persoalan, himpitan-himpitan serta nadir kulminasi seorang manusia khususnya di Kalimantan Selatan serta beberapa perjalanan yang direkamnya dalam memori adanya. Atau barangkali mantra gumam memang dibuat penulisnya sedemikian rupa, tanpa jeda dan bertubi-tubi. Bahkan kabar terakhir yang saya dengar, ASA telah menyempurkan buku gumamnya yang keempat dan sudah siap terbit.
Kelima, pada akhirnya saya harus mengakui tanpa mengurangi nilai substansi dari gumam ASA itu sendiri, nilai estetik masih terlihat kendati penulisnya buat untuk terlihat dan terkesan kacau, tidak beraturan tetapi keanggunan gumam biasnya dapat dipantulkan lewat kaca makna yang tabirnya tidak ditutupi apapun. Tema yang lugas dikemas dengan nuansa gumam membuat karya ASA patut untuk dicermati, dan dalam bagaimanapun gumam adalah bagian dari puisi yang lahir dari kehamilan eksperimental penulisnya. Ngoni so pe cara bakugumam. Lanjut Jo!
Sebelah Barat Papua, Juli 2010
)* Anggota Wanita Penulis Indonesia
)* Anggota Wanita Penulis Indonesia
0 comments:
Post a Comment