Prof. Tjip dan Mazhab Hukum Progresif

Sunday 17 January 2010

Oleh : Miftahul A’la
Setelah gus dur meninggalkan Indonesia, kini giliran Prof. Satjibto Rahardjo seorang guru besar sosiologi hukum Universitas Dipenogoro Semarang menyusul. Beliau meninggal dunia jum’at 8/1/2010 kemarin di rumah sakit Pertamina Jakarta akibat mengalami kegagalan dalam bernafas. Sebelum meninggal sempat juga mengalami rawat inap selama satu bulan lamanya di rumah sakit tersebut. Kepergian Prof. Satjibto Rahardjo tentu merupakan kehilangan yang besar sekali bagi Indonesia khususnya bagi para akademisi maupun pakar hukum Indonesia. Sebab bagaimanapun juga kontribusinya dalam dunia hukum begitu besar dan beliau juga menjadi sosok yang meneladankan kesejatiannya sebagai guru ilmu hukum sebagai penegak hukum. 
 Satjibto Rahardjo lahir di Banyumas jawa tengah, 15 desember 1930. Sejak awal memang sangat kelihatan sekali bahwa Satjibto dengan sengaja mendedikasikan kehidupannya dalam dunia hukum. Hal ini terbukti dengan latar belakang pendidikan yang diambilnya sejak awal. Semua orang tahu dengan pasti bahwa Satjibto Rahardjo merupakan akademisi yang sangat getot sekali membicarakan kebobrokan dan mengkritisi hukum di Indonesia. Bahkan dengan sikap kritisnya ia kemudian menemukan berbagai sikap yang dinilai menghalangi kemajuan hukum bagi rakyat. Tidak hanya sebatas itu, yang terpenting beliau juga mencoba menawarkan solusi berhukum yang sesuai dengan konteks masyarakat. 
 Kita tahu bahwa bahwa dalam beberapa dekade ini posisi hukum di Indonesia mengalami kemunduran signifikan. Hukum yang diharapkan dapat menjadi pendukung bagi perubahan masyarakat yang lebih baik, ternyata hanyalah berupa aturan-aturan kosong yang tidak mampu untuk menjawab berbagai persoalan dalam masyarakat. Hukum justru hanya menjadi legitimasi penguasa dalam menancapkan ketidakadilannya pada masyarakat khususnya rakyat kecil. Singkatnya, ada jarak yang semakin jauh antara law in books dengan law in action.
 Ibarat seekor gajah, yang diteliti oleh orang-orang buta, hukum memberikan banyak pengertian bagi para pemerhatinya sesuai denga persepsi masing-masing. Orang buta yang berada di depan gajah akan memberikan pengertian bahwa gajah itu berbentuk panjang dan bulat. Hal ini dimengerti karena orang buta pertama meraba belalainya. Akan tetapi, pemahaman seperti ini berbeda dengan orang buta kedua yang memberikan pengertian gajah dengan merabanya dari samping. Begitu pula pengertian ini berlainan dengan orang buta ketiga yang meraba gajah dari belakang. Teori-teori dalam ilmu hukum itu pun akan seluas dengan pengertian hukum itu sendiri. Pengertiannya akan berbeda jika dilihat dari sudut yang berbeda. 
 Hukum Progresif
Bisa dikatakan Prof. Satjipto Rahardjo merupakan salah seorang pemikir hukum Indonesia yang cukup produktif dan banyak dijadikan rujukan oleh berbagai kalangan baik akademi maupun praktisi hukum. Banyak sekali pemikiran yang lahir dari ide-ide cemerlangnya. Pemikirannya diakui atau tidak telah banyak mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia dan memberikan perubahan dalam menjalankan hukum. Prof. Tjip, begitu orang-orang menyebutnya, lebih terkenal khususnya di dunia akademis sebagai seorang yang diberi gelar sebaga “Begawan Hukum”. Semua itu lantaran berbagai macam kontribusi yang deberikan dalam dunia hukum. Pemikirannya banyak dijumpai dalam berbagai bentuk, baik lisan maupun tulisan, buku teks atau tercerai berai di berbagai surat kabar dalam bentuk artikel dan makalah seminar/diskusi. Substansinya sangat beragam bahkan sangat luas, mulai dari hal yang bersifat filosofis, sosiologis bahkan anthropologis dan religius. 
 Salah satu dari sekian banyak idenya tentang hukum yang sangat menumental adalah kajiannya yang disebut sebagai “Hukum Progresif”. Aturan yang dipakai dalam rangkan memecahkan berbagai persoalan hukum di Indonesia yang tidak kunjung usai, semisal korupsi, kolusi dan berbagai kebuntuan hukum yang lainnya. Hukum progresif bagi beliau adalah konstruksi nya bermula dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Secara lebih sederhana beliau mengatakan bahwa hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusia. Jadi tidak ada rekayasan atau keterpihakan dalam menegakan hukum. Sebab menurutnya hukum bertujuan untuk menciptakan keadikan dan kesejahteraan bagi semua rakyat. 
 Dalam bukunya “Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum“ Prof Tjip mengkritalisasi lebih dalam tentang apa yang dimaksud dengan hukum progresif dan beberapa paradigma yang menopangnya, yaitu: Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Jadi nilai ini akan menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sebaliknya, pandangan yang menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia senada dengan pandangan antroposentris yang humanis dan membebaskan.
 Kedua, Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar membekukan masyarakat.
 Ketiga, Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari perbuatannya di dalam hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum pendidikan hukum kini mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan bagaimana cara mengoperasionalisasikannya. secara agak ekstrem, Gerry Spence mengkritik pendidikan hukum dengan mengatakan, “bahwa sebenarnya sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggut.” Tidak mengherankan jika kemudian setelah lulus dari fakultas hukum tidak mampu untuk menegakan hukum sesuai dengan substansinya. 
 Konsep hukum progresif yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo tampaknya memang mulai kelihatan dampaknya. Sedikit demi sedikit kita menemukan bukti kebenarannya tentang kinerja dari hukum progrsif. Dari gagasnya kita dapatkan optimisme perbaikan hukum, membumi dan melayani rasa keadilan rakyat. Bahkan Mahfudz MD ketua Mahkahah Konstitusi juga menyakini akan kekuatan yang tersimpan dalam konsep hukum progresifnya Prof. Tjip. Kini beliau telah pulang dan tidak akan kembali, namun pemikiran dan jerih payahnya selama ini akan terus disarakan dan diperjuangkan oleh generasi muda. Selamat jalan sang Begawan Hukum semoga arwah beliau diterima disisi-Nya amin

Penulis adalah Direktur Center for Politic and Law Studies (CePoLS) Yogyakarta. 
Hp. 081392627364 

0 comments:

Post a Comment

free counters

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Page Rank

Copyright © 2011 Green Ilmu | Splashy Free Blogger Templates with Background Images, Trucks