Oleh: Miftahul A’la
Yogyakarta sebagai kota yang merupakan lanjutan dari kerajaan mataram islam, tentunya masih menyimbang beragam peninggalan sejarah masa lalu yang unik dan sakral, termasuk berbagai atribut dan ciri khas agama islam. Mulai dari keraton yogya yang masih kokoh berdiri hingga sekarang, karang menjangan, benteng vandrburg, masjid agung, serta beragam bangunan klasik peninggalan sejarah kerajaan mataram masih tetap eksis berdiri di Yogyakarta meskipun bangunan sudah tidak asli lagi karena faktor usia yang sangat lama. Ini tentu merupakan suatu anugrah yang patut dilestarikan dan disyukuri oleh masyarakat yogya khususnya, karena masih menyimpan khazahan dan peninggalan sejarah masa lalu.
Salah satu peninggalan yang mengandung kesakralan di Yogya adalah Masjid Agung Keraton. Masjid Agung Yogyakarta ini merupakan bangunan masjid yang didirikan di pusat (ibukota) kerajaan. Bangunan ini didirikan semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I. Perencanaan ruang kota Yogyakarta konon didasarkan pada konsep taqwa. Oleh karenanya, komposisi ruang luarnya dibentuk dengan batas-batas berupa penempatan lima masjid kasultanan di empat buah mata angin dengan Masjid Agung sebagai pusatnya. Sedangkan komposisi di dalam menempatkan Tugu (Tugu Pal Putih) - Panggung Krapyak sebagai elemen utama inti ruang. Komposisi ini menempatkan Tugu Pal Putih-Keraton-Panggung Krapyak dalam satu poros.
Pendirian masjid itu sendiri atas prakarsa dari Kiai Pengulu Faqih Ibrahim Dipaningrat yang pelaksanaannya ditangani oleh Tumenggung Wiryakusuma, seorang arsitek keraton. Pembangunan masjid dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah pembangunan bangunan utama masjid. Tahap kedua adalah pembangunan serambi masjid. Setelah itu dilakukan penambahan-penambahan bangunan lainnya.
Pada masa itu, Masjid agung memiliki peranan yang stategis dalam perjalanan serta membesarkan nama Yogyakarta. Selain juga menyimpan nuansa sakralitas yang sangat luar biasa hebatnya. Sebab masjid di sini juga merupakan tempat yang disucikan oleh umat islam. Selain juga masjid mulai awal sejarah berdirinya masjid pertama kali di Madinah yang memiliki kekuatan sejarah dari cahaya masjid Nabawi yakni pertama kekuatan integritas agama, dimana seluruh umat dan golongan bisa memanfaatkannya sebagai salah satu wahana untuk ta’aruf antara yang satu dengan lainnya. Kedua sebagai perkembangan dialektis internalisai-eksternalisai nilai, merupakan tempat untuk berkembangnya beragam kebudayaan yang ada pada masa itu serta menimbulkan semangat islam untuk membangun masyarakat yang terpecah-pecah menjadi satu kesatuan yang utuh. Menjadi kesatuan sosial dengan pola kewarganegaraan dan kepemimpinan. Kemudian semua aktivitas tersebut dikendalikan dari masjid yang merupakan tempat yang strategis. Ketiga pluralisme positif antaragama. Atas dasar pluralisme inilah pada zaman pertama kali islam muncul, mampu berkembang dan lestari hingga sampai sekarang. Atas dasar pluralisme ini juga dapat tercipta kerjasama bukan saja dengan berpegang kepada ajaran agama masing-masing, toleransi, tetapi juga menyumbangkan secara positif kekayaan etika dan moralitas secara positif dalam masyarakat yang dibangun bersama. (Zainal Arifin Thoha: 2002)
Hingga tidak mengherankan masjid merupakan tempat yang banyak menyumbang demi kemajuan bersama dan menjadi tempat yang disakralkan oleh masyarakatnya. Kesakralan ini tidak bisa diutak-atik oleh siapapun, karena masjin merupakan rumah tuhan. Maka yang berhak mengutak-atik hanyalah Tuhan. Bahasa sederhananya semacam ini.
Benih Kapitalis
Namun sadar maupun tidak, kesakralan dan wibawa yang dimiliki oleh masjid agung khususnya masjid agung Yogya kian hari semakin memudar. Masjid yang mamiliki makna disakralkan dan disucikan kini sudah mulai kehilangan subsatansi nilainya di dalamnya. Semakin memudarnya kesakralan masjid agung yogya ini kian jelas dengan semakin merebaknya benih-benih kapitalis, meskipun masih belum kelihatan secara sempurna. Penyakit kronis yang sangat ditakuti oleh siapapun yakni kapitalisme. Penyakin mematikan dan mampu meluluhlantakan peradaban manusia di dunia.
Hal semacam ini terbukti dengan adanya berbagai macam retribusi yang dilakukan entah di dalam maupun sekitar wilayah masjid agung. Semisal retribusi untuk biaya parkir kendaraan dan semacamnya. Bahkan dalam acara sekatenan sekarang bukan tidak mungkin sering terjadi berbagai penarikan biaya termasuk ketika seseorang melakukan ritual sholat atau hanya sekedar beristirahat di dalamnya. Sungguh aktivitas yang tidak etis, sebab masjid merupakan tempat yang disucikan oleh masyarakat. Ironisnya, mereka yang menarik terribusi tersebut sangat terorganisir sehingga semakin menegaskan bahwa kini masjid agung menjadi wahana untuk “mencari keuntungan” dengan menggunakan nuansa yang sangat berbau agamis. Termasuk dengan jalan dilabelkan nuansa “shodaqoh” dan “infaq”. Tentunya aksi kotor yang mengatasnakan agama akan mencoreng nama baik agama tersebut.
Disilah pemerintah memiliki wewenang untuk menetralisasikan dan menghilangkan benih-benih kapitalisme yang masih dalam tahap perkembangannya. Namun yang terpenting umat islam harus mempunyai keinginan kuat untuk memulai gerakan “back to masque” dan menjadikan masjid sebagai rumah peradaban masa depan umat manusia.
Relevansi masjid yang dulu pernah menjadi sebagai pusat peradaban manusia harus segera mungkin dikembalikan untuk membangun masa depan sebuah peradaban yang rahmatan lil alamin. Sebab kini ideologi pasar sedikit demi sedikit tanpa disadari sudah mulai merambah ke masjid-masjin di Indonesia. Ideologi pasar yang mulai menggejala dan merasuki masjid-masjid di Indonesia harus segera dimusnahkan. Karena ini merupakan penyakit kronis yang mampu merobohkan ideologi islam. Maka tidak mengherankan jika Rasulallah SAW mengatakan bahwa “sebaik-baiknya tempat adalah masjid, dan seburuk-buruknya tempat adalah pasar”.
Etos dan aktualisasikan serta fungsionalisasi masjid harus segera dioptimalkan di tengah-tengah gempuran budaya modern dan kapitalisme. Sebab dengan jalan mengaktualisasikan secara maksimal universalitas islam dan kosmopolitanisme akan menjaga dan mempertahankan eksistensi ajaran islam di masa mendatang. Dengan begitu, maka tugas islam sebagai agama pembebasan umat manusia dari ketidakadilan struktur sosial-ekonomi dan kebiadaban penguasa politik yang zhalim, menuju kesejahteraan alam semesta (rahmatan lil alamin) akan terlaksana dengan sempurna.
Penulis adalah Direktur pada Center for Politic and Law Studies (CePoLS) Yogyakarta. Hp. 081392627364
Yogyakarta sebagai kota yang merupakan lanjutan dari kerajaan mataram islam, tentunya masih menyimbang beragam peninggalan sejarah masa lalu yang unik dan sakral, termasuk berbagai atribut dan ciri khas agama islam. Mulai dari keraton yogya yang masih kokoh berdiri hingga sekarang, karang menjangan, benteng vandrburg, masjid agung, serta beragam bangunan klasik peninggalan sejarah kerajaan mataram masih tetap eksis berdiri di Yogyakarta meskipun bangunan sudah tidak asli lagi karena faktor usia yang sangat lama. Ini tentu merupakan suatu anugrah yang patut dilestarikan dan disyukuri oleh masyarakat yogya khususnya, karena masih menyimpan khazahan dan peninggalan sejarah masa lalu.
Salah satu peninggalan yang mengandung kesakralan di Yogya adalah Masjid Agung Keraton. Masjid Agung Yogyakarta ini merupakan bangunan masjid yang didirikan di pusat (ibukota) kerajaan. Bangunan ini didirikan semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I. Perencanaan ruang kota Yogyakarta konon didasarkan pada konsep taqwa. Oleh karenanya, komposisi ruang luarnya dibentuk dengan batas-batas berupa penempatan lima masjid kasultanan di empat buah mata angin dengan Masjid Agung sebagai pusatnya. Sedangkan komposisi di dalam menempatkan Tugu (Tugu Pal Putih) - Panggung Krapyak sebagai elemen utama inti ruang. Komposisi ini menempatkan Tugu Pal Putih-Keraton-Panggung Krapyak dalam satu poros.
Pendirian masjid itu sendiri atas prakarsa dari Kiai Pengulu Faqih Ibrahim Dipaningrat yang pelaksanaannya ditangani oleh Tumenggung Wiryakusuma, seorang arsitek keraton. Pembangunan masjid dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah pembangunan bangunan utama masjid. Tahap kedua adalah pembangunan serambi masjid. Setelah itu dilakukan penambahan-penambahan bangunan lainnya.
Pada masa itu, Masjid agung memiliki peranan yang stategis dalam perjalanan serta membesarkan nama Yogyakarta. Selain juga menyimpan nuansa sakralitas yang sangat luar biasa hebatnya. Sebab masjid di sini juga merupakan tempat yang disucikan oleh umat islam. Selain juga masjid mulai awal sejarah berdirinya masjid pertama kali di Madinah yang memiliki kekuatan sejarah dari cahaya masjid Nabawi yakni pertama kekuatan integritas agama, dimana seluruh umat dan golongan bisa memanfaatkannya sebagai salah satu wahana untuk ta’aruf antara yang satu dengan lainnya. Kedua sebagai perkembangan dialektis internalisai-eksternalisai nilai, merupakan tempat untuk berkembangnya beragam kebudayaan yang ada pada masa itu serta menimbulkan semangat islam untuk membangun masyarakat yang terpecah-pecah menjadi satu kesatuan yang utuh. Menjadi kesatuan sosial dengan pola kewarganegaraan dan kepemimpinan. Kemudian semua aktivitas tersebut dikendalikan dari masjid yang merupakan tempat yang strategis. Ketiga pluralisme positif antaragama. Atas dasar pluralisme inilah pada zaman pertama kali islam muncul, mampu berkembang dan lestari hingga sampai sekarang. Atas dasar pluralisme ini juga dapat tercipta kerjasama bukan saja dengan berpegang kepada ajaran agama masing-masing, toleransi, tetapi juga menyumbangkan secara positif kekayaan etika dan moralitas secara positif dalam masyarakat yang dibangun bersama. (Zainal Arifin Thoha: 2002)
Hingga tidak mengherankan masjid merupakan tempat yang banyak menyumbang demi kemajuan bersama dan menjadi tempat yang disakralkan oleh masyarakatnya. Kesakralan ini tidak bisa diutak-atik oleh siapapun, karena masjin merupakan rumah tuhan. Maka yang berhak mengutak-atik hanyalah Tuhan. Bahasa sederhananya semacam ini.
Benih Kapitalis
Namun sadar maupun tidak, kesakralan dan wibawa yang dimiliki oleh masjid agung khususnya masjid agung Yogya kian hari semakin memudar. Masjid yang mamiliki makna disakralkan dan disucikan kini sudah mulai kehilangan subsatansi nilainya di dalamnya. Semakin memudarnya kesakralan masjid agung yogya ini kian jelas dengan semakin merebaknya benih-benih kapitalis, meskipun masih belum kelihatan secara sempurna. Penyakit kronis yang sangat ditakuti oleh siapapun yakni kapitalisme. Penyakin mematikan dan mampu meluluhlantakan peradaban manusia di dunia.
Hal semacam ini terbukti dengan adanya berbagai macam retribusi yang dilakukan entah di dalam maupun sekitar wilayah masjid agung. Semisal retribusi untuk biaya parkir kendaraan dan semacamnya. Bahkan dalam acara sekatenan sekarang bukan tidak mungkin sering terjadi berbagai penarikan biaya termasuk ketika seseorang melakukan ritual sholat atau hanya sekedar beristirahat di dalamnya. Sungguh aktivitas yang tidak etis, sebab masjid merupakan tempat yang disucikan oleh masyarakat. Ironisnya, mereka yang menarik terribusi tersebut sangat terorganisir sehingga semakin menegaskan bahwa kini masjid agung menjadi wahana untuk “mencari keuntungan” dengan menggunakan nuansa yang sangat berbau agamis. Termasuk dengan jalan dilabelkan nuansa “shodaqoh” dan “infaq”. Tentunya aksi kotor yang mengatasnakan agama akan mencoreng nama baik agama tersebut.
Disilah pemerintah memiliki wewenang untuk menetralisasikan dan menghilangkan benih-benih kapitalisme yang masih dalam tahap perkembangannya. Namun yang terpenting umat islam harus mempunyai keinginan kuat untuk memulai gerakan “back to masque” dan menjadikan masjid sebagai rumah peradaban masa depan umat manusia.
Relevansi masjid yang dulu pernah menjadi sebagai pusat peradaban manusia harus segera mungkin dikembalikan untuk membangun masa depan sebuah peradaban yang rahmatan lil alamin. Sebab kini ideologi pasar sedikit demi sedikit tanpa disadari sudah mulai merambah ke masjid-masjin di Indonesia. Ideologi pasar yang mulai menggejala dan merasuki masjid-masjid di Indonesia harus segera dimusnahkan. Karena ini merupakan penyakit kronis yang mampu merobohkan ideologi islam. Maka tidak mengherankan jika Rasulallah SAW mengatakan bahwa “sebaik-baiknya tempat adalah masjid, dan seburuk-buruknya tempat adalah pasar”.
Etos dan aktualisasikan serta fungsionalisasi masjid harus segera dioptimalkan di tengah-tengah gempuran budaya modern dan kapitalisme. Sebab dengan jalan mengaktualisasikan secara maksimal universalitas islam dan kosmopolitanisme akan menjaga dan mempertahankan eksistensi ajaran islam di masa mendatang. Dengan begitu, maka tugas islam sebagai agama pembebasan umat manusia dari ketidakadilan struktur sosial-ekonomi dan kebiadaban penguasa politik yang zhalim, menuju kesejahteraan alam semesta (rahmatan lil alamin) akan terlaksana dengan sempurna.
Penulis adalah Direktur pada Center for Politic and Law Studies (CePoLS) Yogyakarta. Hp. 081392627364
0 comments:
Post a Comment