Oleh : Miftahul A’la
Indonesia mungkin merupakan salah satu atau bahkan satu-satunya negara di dunia yang “membolehkan” dewan pengelolanya melakukan prilaku korup. Fakta ini terbukti dengan semakin gencarnya prilaku korup yang dilakukan oleh anggota dewan. Entah itu anggota eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Bahkan seakan-akan indonesia merupakan sarang korup yang dilindungi oleh pemerintah dan hukum yang berlaku.
Kenyataan semacam ini memang sangat menyakitkan. Ketika pemerintah menggembor-gemborkan jargon “memberantas korupsi”, namun dalam satu waktu itu pula justru yang terjadi sebaliknya. Korupsi semakin melebar dan seakan-akan diberi jalan yang seluas-luasnya dalam melakukan aksinya. Ini terbukti dengan semakin banyaknya anggota dewan yang tertangkap basah melakukan korupis/suap. Bahkan tercatat sudah lima anggota dewan yang sudah masuk buai. Mulai dari al-aminnasution (PPP) hingga abdul hadi (PAN).
Memang prilaku korup di Indonesia hingga detik ini masih merupakan masalah krusial yang sulit ditanggulangi. Meskipun berbagai upaya sudah dilakukan, namun tetap saja tidak ada perubahan signifikan. Hal ini mungkin disebabkan karena pada dasarnya, di negara indonesia mungkin prilaku korup sudah merasuk jauh dalam relung jantung manusia sebagai makhluk yang mengandung benih-benih kejahatan.
Dipandang dari sudut manapun, korupsi tentu merupakan sesuatu sangat buruk. Kurangnya komitmen politik, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, hingga sampai alasan kultural dijadikan alasan dalam menyikapi masalah korupsi. Mungkin itu adalah salah satu hal yang membuat terhambatnya untuk penanganan dalam masalah korupsi yang hingga sampai saat ini belum bisa terselesaikan secara optimal.
Materialistik
Dalam diri manusia memang pada hakikatnya lekat dan tak mungkin bisa terpisahken dengan yang namanya materi. Jadi tidaklah mengherankan jika banyak para penguasa yang haus akan meteri, meskipun pada realitasnya hidup mereka sudah tercukupi. Tetapi rasa ingin memiliki harta lebih, merupakan awal terlaksannya prilaku korup di anggota dewan. Menurut eksistensial Gabriel Marcel, salah satu makna terpenting dari kata memiliki (avoir) adalah menguasai dan mengontrol. Artinya seseorang bisa saja mengontrol dan menguasai sesuatu yang melekat pada dirinya. Seperti contohnya seseorang pemilik mobil, ia bisa menguasai dan mengontrol mobilnya tersebut dengan sekehendak hatinya.
Namun keadaan bisa berbalik seratus drajat. Manusia yang sejatinya memiliki materi, akhirnya bisa menjadi yang dikuasai materi. Dalam keadaan yang semacam itulah pada akhirnya korupsi, egisme, dan aneka kejahatan kerah putih (white-collar crime) yang dilakukan oleh para penguasa bisa berjalan dengan lancar dan tumbuh subur. Prilaku korup sangatlah pintar mencari celah kosong yang terdapat dalam wilayah hukum.
Dalam posisi yang semacam inilah, para penguasa menjadi gila materi dan kehilangan moralitas. Istilah kesadaran moral dapat disebut juga dengan suara hati. Di mana manusia mempunyai kesadaran moral sama dengan yang mempunyai suara hati. Manusia yang mempunyai suara hati, pasti akan selektif dan selalu mempertimbangkan dengan kesadaran hati dalam mengambil suatu keputusan. Dengan suara hati, akhirnya akan membawa manusia menuju kepada pilihan yang sangat bernilai dan yang tidak akan merugikan kepentingan personal.
Bagi mereka yang mempunyai suara hati, maka mereka akan malu jika melakukan sesuatu yang tidak baik serta tak bermoral. Ia akan malu jika membiarkan ada perbuatan yang tak bermoral di sekitarnya. Apalagi perbuatan tersebut yang mereka lakukan akan sangat berdampak sangat buruk bagi masa depan bangsa yang selama ini membesarkan dan memberinya tempat tinggal. Tentu saja orang yang senang dengan perbuatan tak bermoral berarti tidak mempunyai suara hati. Atau, orang yang membiarkan perbuatan tak bermoral di sekitaranya berarti ia juga tidak mempunyai suara hati. Jika seseorang dalam melaksanakan tindakannya selalu bertumpu pada suatau hati, maka secara tidak langsung dengan sendirinya ia sedang mengasah dirinya untuk menuju keutamaan yang bermoral.
Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles pernah mengemukakan bahwasanya keutamaan itu sendiri terdiri dalam dua jenis, yaitu keutamaan intelektual dan yang kedua adalah keutamaan moral. Keutamaan intelektual berasal dan dapat berkembang secara optimal terutama karena pengajaran yang serius. Sedangkan keutamaan moral dibentuk dan di bangun oleh kebiasaan, etos dan istilah etik. Keutamaan pertama kali dapat kita peroleh dengan melakukannya sesuai prosedur yang pasti. Dari pernyataan Aristoteles semacam itulah, sudah seharusnya kita menyadari dan mengerti, bahwa dala diri kita akan bisa menjadi baik jika diri kita bisa melakukan serta menjalankan sesuatu yang baik pula.
Perlindungan Hukum
Negara Indonesia saat ini, sedang mengalami masalah besar yang tidak pernah disadari, yakni hilangnya kesadaran moralitas. Hilangnya kesadaran hati nyaris terjadi di mana-mana. Selain juga disebabkan karena para koruptor mendapat jaminan kebebasan dari hukum di Indonesia. Ini terbukti setiap ada koruptor yang tertangkap basah dan disidanghkan dalam meja hijua, pasti dapat ditebak mereka akan mendapatkan keringanan hukum, bahkan dibebaskan tanpa syarat. Lebih ironis lagi, meskipun mereka mendapat hukum kurungan, seakan-akan mereka hidup di hotel yang fasilitasnya serba terpenuhi.
Keadaan semacam ini akan berbeda ketika seorang pencuri ayam tertanggap misalnya. Bisa dipastikan ia akan babak belur dihakimi masa, atau mendapat hukuman lebih berat dibandingkan dengan mereka yang memakan uang rakyat. Sungguh sangat ironi melihat perjalanan hukum dan keadilan yang ada di Indonesia. Secara tidak langsung keterpihakan hukum terhadap mereka yang ber-uang semakin melestarikan perjalanan para koruptor di Indonesia.
Indonesia membutuhkan pemimpin serta teladan yang baik. Pemimpin yang lebih mampu bersikap relistis dan mampu memikirkan rakyatnya. Sudah saatnya bagi mereka para penguasa Indonesia harus bisa memulai untuk mengembalikan eksistensi manusia yang selama ini telah hilang dari dalam hatinya, akibat dari pengaruh materi yang membuat mereka menjadi buta hati. Jangan sampai terjadi sebuah prilaku yang membawa pada jurang kehancuran bagi negara kita ini. Sudah saatnya nurani kita yang bicara, jangan hanya janji-janji dan janji yang kita lakukan. Kalau para penguasa hanya bisa bicara dengan omong kosongnya saja maka akan percuma. Mustahi akan tercipta negara yang sejahtera dan santosa. Jika suara hati yang bicara kemungkinan besar berbagai masalah yang sedang melanda negara kita sedikit demi sedikit akan bisa terselesaikan secara optomal.
Penulis adalah Direktur pada Center for Politic and Law Studies (CePoLS) Yogyakarta. Hp. 081392627364.
Indonesia mungkin merupakan salah satu atau bahkan satu-satunya negara di dunia yang “membolehkan” dewan pengelolanya melakukan prilaku korup. Fakta ini terbukti dengan semakin gencarnya prilaku korup yang dilakukan oleh anggota dewan. Entah itu anggota eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Bahkan seakan-akan indonesia merupakan sarang korup yang dilindungi oleh pemerintah dan hukum yang berlaku.
Kenyataan semacam ini memang sangat menyakitkan. Ketika pemerintah menggembor-gemborkan jargon “memberantas korupsi”, namun dalam satu waktu itu pula justru yang terjadi sebaliknya. Korupsi semakin melebar dan seakan-akan diberi jalan yang seluas-luasnya dalam melakukan aksinya. Ini terbukti dengan semakin banyaknya anggota dewan yang tertangkap basah melakukan korupis/suap. Bahkan tercatat sudah lima anggota dewan yang sudah masuk buai. Mulai dari al-aminnasution (PPP) hingga abdul hadi (PAN).
Memang prilaku korup di Indonesia hingga detik ini masih merupakan masalah krusial yang sulit ditanggulangi. Meskipun berbagai upaya sudah dilakukan, namun tetap saja tidak ada perubahan signifikan. Hal ini mungkin disebabkan karena pada dasarnya, di negara indonesia mungkin prilaku korup sudah merasuk jauh dalam relung jantung manusia sebagai makhluk yang mengandung benih-benih kejahatan.
Dipandang dari sudut manapun, korupsi tentu merupakan sesuatu sangat buruk. Kurangnya komitmen politik, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, hingga sampai alasan kultural dijadikan alasan dalam menyikapi masalah korupsi. Mungkin itu adalah salah satu hal yang membuat terhambatnya untuk penanganan dalam masalah korupsi yang hingga sampai saat ini belum bisa terselesaikan secara optimal.
Materialistik
Dalam diri manusia memang pada hakikatnya lekat dan tak mungkin bisa terpisahken dengan yang namanya materi. Jadi tidaklah mengherankan jika banyak para penguasa yang haus akan meteri, meskipun pada realitasnya hidup mereka sudah tercukupi. Tetapi rasa ingin memiliki harta lebih, merupakan awal terlaksannya prilaku korup di anggota dewan. Menurut eksistensial Gabriel Marcel, salah satu makna terpenting dari kata memiliki (avoir) adalah menguasai dan mengontrol. Artinya seseorang bisa saja mengontrol dan menguasai sesuatu yang melekat pada dirinya. Seperti contohnya seseorang pemilik mobil, ia bisa menguasai dan mengontrol mobilnya tersebut dengan sekehendak hatinya.
Namun keadaan bisa berbalik seratus drajat. Manusia yang sejatinya memiliki materi, akhirnya bisa menjadi yang dikuasai materi. Dalam keadaan yang semacam itulah pada akhirnya korupsi, egisme, dan aneka kejahatan kerah putih (white-collar crime) yang dilakukan oleh para penguasa bisa berjalan dengan lancar dan tumbuh subur. Prilaku korup sangatlah pintar mencari celah kosong yang terdapat dalam wilayah hukum.
Dalam posisi yang semacam inilah, para penguasa menjadi gila materi dan kehilangan moralitas. Istilah kesadaran moral dapat disebut juga dengan suara hati. Di mana manusia mempunyai kesadaran moral sama dengan yang mempunyai suara hati. Manusia yang mempunyai suara hati, pasti akan selektif dan selalu mempertimbangkan dengan kesadaran hati dalam mengambil suatu keputusan. Dengan suara hati, akhirnya akan membawa manusia menuju kepada pilihan yang sangat bernilai dan yang tidak akan merugikan kepentingan personal.
Bagi mereka yang mempunyai suara hati, maka mereka akan malu jika melakukan sesuatu yang tidak baik serta tak bermoral. Ia akan malu jika membiarkan ada perbuatan yang tak bermoral di sekitarnya. Apalagi perbuatan tersebut yang mereka lakukan akan sangat berdampak sangat buruk bagi masa depan bangsa yang selama ini membesarkan dan memberinya tempat tinggal. Tentu saja orang yang senang dengan perbuatan tak bermoral berarti tidak mempunyai suara hati. Atau, orang yang membiarkan perbuatan tak bermoral di sekitaranya berarti ia juga tidak mempunyai suara hati. Jika seseorang dalam melaksanakan tindakannya selalu bertumpu pada suatau hati, maka secara tidak langsung dengan sendirinya ia sedang mengasah dirinya untuk menuju keutamaan yang bermoral.
Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles pernah mengemukakan bahwasanya keutamaan itu sendiri terdiri dalam dua jenis, yaitu keutamaan intelektual dan yang kedua adalah keutamaan moral. Keutamaan intelektual berasal dan dapat berkembang secara optimal terutama karena pengajaran yang serius. Sedangkan keutamaan moral dibentuk dan di bangun oleh kebiasaan, etos dan istilah etik. Keutamaan pertama kali dapat kita peroleh dengan melakukannya sesuai prosedur yang pasti. Dari pernyataan Aristoteles semacam itulah, sudah seharusnya kita menyadari dan mengerti, bahwa dala diri kita akan bisa menjadi baik jika diri kita bisa melakukan serta menjalankan sesuatu yang baik pula.
Perlindungan Hukum
Negara Indonesia saat ini, sedang mengalami masalah besar yang tidak pernah disadari, yakni hilangnya kesadaran moralitas. Hilangnya kesadaran hati nyaris terjadi di mana-mana. Selain juga disebabkan karena para koruptor mendapat jaminan kebebasan dari hukum di Indonesia. Ini terbukti setiap ada koruptor yang tertangkap basah dan disidanghkan dalam meja hijua, pasti dapat ditebak mereka akan mendapatkan keringanan hukum, bahkan dibebaskan tanpa syarat. Lebih ironis lagi, meskipun mereka mendapat hukum kurungan, seakan-akan mereka hidup di hotel yang fasilitasnya serba terpenuhi.
Keadaan semacam ini akan berbeda ketika seorang pencuri ayam tertanggap misalnya. Bisa dipastikan ia akan babak belur dihakimi masa, atau mendapat hukuman lebih berat dibandingkan dengan mereka yang memakan uang rakyat. Sungguh sangat ironi melihat perjalanan hukum dan keadilan yang ada di Indonesia. Secara tidak langsung keterpihakan hukum terhadap mereka yang ber-uang semakin melestarikan perjalanan para koruptor di Indonesia.
Indonesia membutuhkan pemimpin serta teladan yang baik. Pemimpin yang lebih mampu bersikap relistis dan mampu memikirkan rakyatnya. Sudah saatnya bagi mereka para penguasa Indonesia harus bisa memulai untuk mengembalikan eksistensi manusia yang selama ini telah hilang dari dalam hatinya, akibat dari pengaruh materi yang membuat mereka menjadi buta hati. Jangan sampai terjadi sebuah prilaku yang membawa pada jurang kehancuran bagi negara kita ini. Sudah saatnya nurani kita yang bicara, jangan hanya janji-janji dan janji yang kita lakukan. Kalau para penguasa hanya bisa bicara dengan omong kosongnya saja maka akan percuma. Mustahi akan tercipta negara yang sejahtera dan santosa. Jika suara hati yang bicara kemungkinan besar berbagai masalah yang sedang melanda negara kita sedikit demi sedikit akan bisa terselesaikan secara optomal.
Penulis adalah Direktur pada Center for Politic and Law Studies (CePoLS) Yogyakarta. Hp. 081392627364.
0 comments:
Post a Comment