KONGRES KEBUDAYAAN MULTI-ETNIK UNTUK PERDAMAIAN Di PALAPAS
(Kota Palu, Kab. Donggala, Kab. Parigi Moutong, Kab. SIGI)
Provinsi Sulawesi Tengah
18-20 November 2009
Daerah Sulawesi Tengah dihuni oleh masyarakat dengan kemajemukan yang tinggi baik etnis, budaya, agama, bahasa dan lain-lain. Kemajemukan tersebut mewarnai seluruh proses dan perkembangan kehidupan masyarakat (relasi sosial) hingga saat ini. Kemajemukan sosial dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Tengah telah memberi dampak yang kuat terhadap gerak kehidupan dan kondisi masyarakat, positif maupun negatif.
Beragamnya isu-isu konflik sosial yang hadir, khususnya pasca Orde Baru membawa konsekuensi dan dampak yang dalam konteks tertentu dapat mengundang disharmoni dan potensi konflik, bahkan dapat berujung pada krisis identitas. Keberagaman-pluralisme (kekayaan sosial-kultural) yang ada di Sulawesi Tengah mestinya dapat menjadi modal dasar bagi proses pembagunan di daerah bila dikelola dengan baik dengan mengusung prinsip keadilan dan kesetaraan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Selama ini disadari atau tidak, minimnya pemahaman akan pentingnya semangat (spirit) keberagaman dan kearifan budaya lokal dalam membangun dan memelihara perdamaian guna menciptakan persatuan dan kesatuan menjadi salah satu indikator krisis kepercayaan masyarakat adat yang berdampak pada terbentuknya eksklusivitas etnis, kelompok, golongan dan agama yang kemudian memunculkan potensi konflik sosial-kultural di masyarakat dan faktanya dalam beberapa dasawarsa terakhir ini justru mengakibatkan konflik komunal (Kasus Poso). Ketegangan dan bentrokan (Konflik) umumnya digerakkan oleh budaya dan pola hidup yang berbeda, karena setiap etnik membawa mereka pada kebudayaan mereka sendiri. Persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berorientasi ekonomi kapital telah juga menambah rentannya potensi konflik di area (Sulawesi Tengah) ini.
Saat ini terdapat banyak sekali organisasi adat, baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintahan (Ornop/LSM), tetapi keberadaan setiap organisasi itu memiliki tujuan dan maksud berbeda. Sangat mungkin keberadaan dan kepentingan berbeda-beda itu memiliki maksud yang sama, yakni menumbuhkan lagi kesadaran atas identitas kultural dan norma-norma yang menyertainya agar kehidupan ini berlangsung aman dan damai serta berkeadilan sosial. Dalam praktiknya, organisasi adat yang ada itu justru bukan berangkat dan bekerja untuk memenuhi maksudnya, melainkan sekadar menunjukkan eksistensi dan saling memperkuat legalitasnya masing-masing secara tradisional. Ini sesungguhnya merupakan salah satu faktor yang bisa menjelaskan, bahwa di daerah (khususnya Sulawesi Tengah yang diwakili Kabupaten Poso yang mengalami konflik kemanusiaan) masih bersemayam bibit konflik laten. Gejala Etnosentrisme (mengunggulkan dan menganggap budaya sendiri paling baik) masih kuat, dan ironisnya terjadi dalam sebuah “kultur besar” dan “etnik besar”, yakni di antara sub-etnik. Ini belum termasuk perbauran berbagai kultur dan sub-kultur yang berasal dari daerah lain.
Gagasan hadirnya KONGRES KEBUDAYAAN MULTI-ETNIK UNTUK PERDAMAIAN Di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Sigi (PALAPAS) Provinsi Sulawesi Tengah ini dilatarbelakangi realitas di atas dan berbagai perspektif tentang realitas itu.
)*yayasan Tadulakota' Document
Beragamnya isu-isu konflik sosial yang hadir, khususnya pasca Orde Baru membawa konsekuensi dan dampak yang dalam konteks tertentu dapat mengundang disharmoni dan potensi konflik, bahkan dapat berujung pada krisis identitas. Keberagaman-pluralisme (kekayaan sosial-kultural) yang ada di Sulawesi Tengah mestinya dapat menjadi modal dasar bagi proses pembagunan di daerah bila dikelola dengan baik dengan mengusung prinsip keadilan dan kesetaraan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Selama ini disadari atau tidak, minimnya pemahaman akan pentingnya semangat (spirit) keberagaman dan kearifan budaya lokal dalam membangun dan memelihara perdamaian guna menciptakan persatuan dan kesatuan menjadi salah satu indikator krisis kepercayaan masyarakat adat yang berdampak pada terbentuknya eksklusivitas etnis, kelompok, golongan dan agama yang kemudian memunculkan potensi konflik sosial-kultural di masyarakat dan faktanya dalam beberapa dasawarsa terakhir ini justru mengakibatkan konflik komunal (Kasus Poso). Ketegangan dan bentrokan (Konflik) umumnya digerakkan oleh budaya dan pola hidup yang berbeda, karena setiap etnik membawa mereka pada kebudayaan mereka sendiri. Persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berorientasi ekonomi kapital telah juga menambah rentannya potensi konflik di area (Sulawesi Tengah) ini.
Saat ini terdapat banyak sekali organisasi adat, baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintahan (Ornop/LSM), tetapi keberadaan setiap organisasi itu memiliki tujuan dan maksud berbeda. Sangat mungkin keberadaan dan kepentingan berbeda-beda itu memiliki maksud yang sama, yakni menumbuhkan lagi kesadaran atas identitas kultural dan norma-norma yang menyertainya agar kehidupan ini berlangsung aman dan damai serta berkeadilan sosial. Dalam praktiknya, organisasi adat yang ada itu justru bukan berangkat dan bekerja untuk memenuhi maksudnya, melainkan sekadar menunjukkan eksistensi dan saling memperkuat legalitasnya masing-masing secara tradisional. Ini sesungguhnya merupakan salah satu faktor yang bisa menjelaskan, bahwa di daerah (khususnya Sulawesi Tengah yang diwakili Kabupaten Poso yang mengalami konflik kemanusiaan) masih bersemayam bibit konflik laten. Gejala Etnosentrisme (mengunggulkan dan menganggap budaya sendiri paling baik) masih kuat, dan ironisnya terjadi dalam sebuah “kultur besar” dan “etnik besar”, yakni di antara sub-etnik. Ini belum termasuk perbauran berbagai kultur dan sub-kultur yang berasal dari daerah lain.
Gagasan hadirnya KONGRES KEBUDAYAAN MULTI-ETNIK UNTUK PERDAMAIAN Di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Sigi (PALAPAS) Provinsi Sulawesi Tengah ini dilatarbelakangi realitas di atas dan berbagai perspektif tentang realitas itu.
)*yayasan Tadulakota' Document
0 comments:
Post a Comment