Nestapa Calon Independen

Wednesday, 1 April 2009

Oleh: Miftahul A’la
Akhirnya kandas sudah keinginan calon independen untuk mencalonkan diri mereka ikut bertarung dalam pemilihan presiden maupun wakil presiden. Harapan mereka kandas dengan keputusan yang diambil oleh mahkamah konstitusi beberapa waktu lalu. MK secara tegas menolak permohonan uji materiel terkait dengan presiden melalui calon independen dan tetap mempertahankan keputusannya berdasarkan UUD ‘45. Dengan keputusan yang dikeluarkan itu, tentunya para calon independen harus rela hati untuk tidak ikut bersaing dalam pemilu 2009 mendatang. Kecuali mereka melakukan koalisi atau ikut bergabung dengan partai politik yang memang merupakan satu-satunya jalur utama untuk ikut bersaing dalam pertarungan kekuasaan mendatang.
Banyak terdapat pro dan kontra terkait dengan keputusan MK ini. Bahkan MK mendapat sorotan dan kritik pedas dari tiga hakim yaitu abdul Mukhti Fadjar, Maruarar Siahaan serta Akhil Muchtar. Mereka mengkritik keputusan MK terlalu berlebihan dan menginginkan agar MK membuka peluang bagi calon independen dalam pemilu. Meskipun demikian, MK tetap berpegang pada keputusan yang telah disepakati yakni tidak memperbolehkan jalur perseorangan dalam pertarungan pemilu medatang.
Keputusan MK dalam hal ini memang sangat realistis dan tidak ditawar lagi. Sebab MK mendasarkan landasannya pada UUD ‘45 pasal 6 A yang menyebutkan bahwa yang menyatakan calon presiden maupun wakil presiden diajukan oleh parpol atau gabungan parpol sebelum pemilu. Dengan adanya pasal ini tentunya sangat tegas, bahwa hanya parpol dan gabungan parpol yang dapat mengusulkan pasangan calon presiden atau wapres. Tidak ada tafsiran lain dalam menyingkapi pasal ini.
Sebenarnya wacana tentang calon independen bukan merupakan hal baru lagi di Indonesia. Sebeb wacana ini juga pernah muncul dalam pembicaraan perubahan UUD 1945. Akan tetapi, wacana tersebut secara tegas juga ditolak oleh MPR. Pertimbangan lain mungkin juga demi menjaga kemaslahatan dan perjalanan demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang masih belum mencapai titik klimaksnya dikhawatirkan akan berhenti di tengah jalan. Jelas sebab ketika jalur perseorangan diberi peluang/diperbolehkan bertarung dalam pemuli, maka bukan tidak menutup kemungkinan, seluruh masyarakat Indonesia akan ikut mencalonkan menjadi presiden maupun wapres. Tentunya akan merupakan ironi dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Salah Penafsiran
Demokrasi di Indonesia memang merupakan fenomena yang absurd dan sulit dipahami. Sebab hampir seluruh masyarakat Indonesia salah memaknai/menafsirkan tentang demokrasi yang sedang dijalankan oleh Indonesia. Mereka menganggap demokrasi semua orang berhak untuk dan ikut serta dalam partisipasi untuk memimpin bangsa-negara. Inilah statemen yang perlu dihilangkan dalam benak fikiran kita.
Dalam karya monumentalnya Plato, seperti apa yang tertulis dalam The Republik menyuguhkan sebuah analogi yang menarik dalam mengilustrasikan makna demokrasi. Plato memberikan analogi bagaimana para awak kapal berebut ingin menjadi nahkoda dalam kapal tersebut. Mereka berlomba-lomba untuk menjadi juru kemudi kapal. Meskipun mereka tidak paham bahkan tidak mengerti dengan arah navigasi. Kemudian yang menjadi pertanyaan bagaimana mungkin orang yang awam tentang kapal, musim, langit, bintang, dan angin bisa dipercaya menahkodai sebuah kapal besar.
Inilah sindiran harus plato namaun mengena terhadap kondisi demokrasi di Athena, sebuah kota kecil yang menjadi tanah air lahirnya demokrasi. Plato menyindir demokrasi sebagai sistem yang mengabaikan pencarian kebenaran itu sendiri namun lebih pasarah dan mempercayai pada kehendak mayoritas dengan refrennya Vox Populi Vox Dei. Kemudian yang menjadi pertanyaan, benarkan kehendak mayoritas itu selalu benar dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya? Inilah salah satu kesalahan pemaknaan demokrasi yang sampai sekarang masih tetap menjadi hantu yang bergentayangan tanpa terjawab.
Demokrasi di Indonesia mungkin tidak jauh berbeda dengan fenomena gambaran yang pernah diutarakan Plato dalam The Republiknya tersebut. Terima maupun tidak memang statemen tersebut sangat cocok dengan fenomena demokrasi di Indonesia. Semua orang berlomba-lomba mencalonkan diri mereka untuk menjadi presiden maupun wapres. Ironisnya tidak semua calon tersebut mempunyai kapasitas dan kapabilisan yang mencukupi dalam memimpin sebuah negara. Sebab sadar maupun tidak, kebanyakan mereka yang mencalonkan hanya menginginkan kursi kekuasaan di Indonesia tanpa mau memperdulikan nasib rakyat. Mereka beanggapan bahwa demokrasi merupakan wahana untuk saling mencalonkan diri dan berekspresi. Padahal jelas kebebasan individu dibatasi oleh hak-hak orang lain, dan ini kenyataan yang sulit dan jarang digunakan.
Masyarakat Indonesia khususnya harus mulai berfikir lebih dewasa dan mereduksi anggapan bahwa demokrasi merupakan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Kita harus kembali memaknai ulang demokrasi. Sebab kita tahu demokrasi memiliki pembatasan-pembatasan yang harus diterima sebagai konsekuensi logisnya. Di mana demokrasi merupakan suatu seni cara untuk mencari kebenaran yang paling benar di antara kebenaran-kebenaran yang dianggap benar. Bukan hanya asal menjalankan sesuatu tanpa memahami dan mengerti apa maksud yang dijalankan.
Jadi keputusan MK untuk tidak memperbolehkan calon Independen perlu diapresietkan dan didukung sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia. Terlebih keputusan ini merupakan kebenaran dan juga tidak bertentangan dengan UUD ’45 6 A yang mengharuskan lewat jalur parpol. Meskipun ini juga membatasi kebebasan seseorang dalam berekspresi. Sebab terpaku hanya pada parpol belaka. Jadi calon independen harus menerima keputusan ini dengan kebenaran. Toh kalau memang mereka masih tetap ingin mencalonkan diri dan masih tetap ingin berbakti kepada Indonesia bisa masuk lewat jalur parpol yang merupakan jalur utama. Kenapa tidak! Terlebih pemilu sudah berada dipelupuk mata. Meskipun kemungkinan di dalam parpol juga terdapat berbagai aksi kotor dalam mempertahankan kursi kekuasaannya. Namun memang untuk saat ini parpol merupakan jalur satu-satunya untuk menuju kursi kepresidenan yang tidak dapat di ganggu gugat.

Penulis adalah Direktur pada Center for Politic and Law Studies (CePoLS) Yogyakarta. Hp. 081392627364
Berdomisili di Jl. Minggiran MJ II/1482-B Yogyakarta.

0 comments:

Post a Comment

free counters

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Page Rank

Copyright © 2011 Green Ilmu | Splashy Free Blogger Templates with Background Images, Trucks