Caleg dan Drama Politik Situ Gintung

Wednesday, 1 April 2009

Oleh: Miftahul A’la
Bencana besar jebolnya tanggul Situ Ginting, di Cirendeu, Tangerang Selatan masih menyisakan kepedihan dan duka lara yang amat mendalam bagi korbanya sekaligus masyarakat Indonesia. Musibah yang terjadi jum’at 27 maret yang lalu hampir memporak-porandakan seluruh kawasan di sekitar Cirendeu. Meskipun durasinya hanya 10 menit, namun dengan waktu yang sesingkat itu, air bah yang keluar dari situ ginting bagaikan sunami besar yang mampu menerjang kawasan pemukiman warga yang luasnya hampir mencapai 10 hektar.
Hampir dipastikan seluruh kawasan di cirendeu terseret derasnya air bah. Semua kawasan luluh lantak tak tersisa, bangunan-bangunan rumah musnah hanya tinggal serpihan-serpihan bangunan yang terlihat. Bahkan bencana yang sesingkat itu menelan korban yang tidak sedikit. Akibat bencana jebolnya tanggul situ ginting tersebut, tercatat lebih dari 93 orang meninggal dunia, dan sebanyak 102 orang masih belum jelas nasibnya. Apakan selamat atau meninggal dunia dalam tragedi itu. (kompas, 29/3/09)
Tidak ada yang mengira akan datangnya musibah besar tersebut, melihat kawasan tersebut yang terkesan kelihatan sangat normal. Namun secara logika, melihat usia bangunan tanggul situ ginting yang sudah sangat tua, memang bukan hal yang mustahil jika tanggul situ ginting itu jebol lantaran di terjang keganasnya air bah dan semakin tergerusnya tanah yang ada di dalamnya.
Bangunan tanggul situ ginting yang didirikan pada zaman belanda ini memang belum selesai di renovasi dan diperbaiki oleh pemerintah. Karena renovasi yang dilakukan hanya sebatas pengurukan di dalamnya dan belum sempat membangun serta memperkokoh bangunan tanggul tersebut. Maka dengan kondisi bangunannya yang semakin bertambah tua, akhirnya tidaklah mengherankan jika tanggul tersebut jebol. Ditambah dengan derasnya hujan yang sempat mengguyur daerah kawasan situ ginting, semakin memperkuat logika bahwa jebolnya tanggul situ ginting merupakan bencana alam yang diluar batas nalar manusia.
Berbagai simpatisan dilayangkan oleh masyarakat Indonesia melihat bencana alam yang terjadi di Cirendau tak terkecuali presiden dan wakil presiden RI. Namun kemudian, ada beberapa kekhawatiran yang perlu di waspadai oleh masyarakat Indonesia, terlebih melihat situasi Indonesia yang sedang memasuki panasnya suasana pemilu 2009. Bukan tidak mungkin mereka para calon anggota legislatig dan anggota eksekutif menjadikan bencana ini sebagai salah satu agenda untuk mencari simpatisan masyarakat untuk melancarkan keinginannya dalam pemilu mendatang.
Memang menggunakan berbagaui media untuk dijadikan alat berkampanye bukan merupakan sebuah dosa. Karena semua anggora baik eksekutif maupun legislatif bisa melakukan kampanye dengan berbagai “macam cara”, asalkan apa yang dilakukan masih dalam koridor tertentu dan tidak menyalahi aturan yang telah ditentukan dalam peraturan pemerintah.
Mengorbankan Hak Rakyat
Bahkan ironisnya, masalah tragedi situ ginting dijadikan sebagai bahan/alat yang dilontarkan oleh para pemimpin dalam berkampanye di depan masa terbuka di sejumlah daerah Indonesia. Kenyataan semacam ini tentunya sangat ironis dan lebih menyakitkan hatri lagi. Di tengah-tengah derita rakyat kecil (masyarakat sekitar situ ginting), ternyata masih ada saja pemimpin yang justru memanfaatkan kesedihan mereka untuk Indikasi semacam ini sudah sangat jelas dilakukan oleh para calon anggora legislatif maupun eksekutif untuk menarik simpatisan publik. Hal semacam ini tentunya harus segera ditindaklanjuti jangan sampai dibiarkan. Sebab jika tetap dibiarkan akan menjadi bomerang penghalang dalam perjalanan demokrasi di Indonesia yang masih belum mencapai titik puncaknya.
Kampanye dalam pemilu 2009 ini jangan sampai menggunakan kesengsaraan orang lain untuk dijadikan mediaum dalam berkampanye dan menarik simpatisan publik. Karena pemilu merupakan sebuah taruhan besar dalam perjalanan bangsa-negara. Pemilu bisa menjadi manifes, namun tidak menutup kemungkinan juga akan menjadi titik laten. Pemilu 2009 mendatang akan menjadi manifes apabila pemilu berjalan sesuai prosedural, spektakuler dan menimbulkan harapan positif bagi masa depan bangsa-negara. Namun di sisi lain, pemilu 2009 tidak menutup kemungkinan akan menjadi laten apabila dibalik kampanye dan ritula terdapat sikap yang tidak fair dalam pelaksanaannya, semisal transaksi politik, penyalahgunaan kekuasaan dan sikap anarkisme dalam bertindak.
Secara sederhana, pemilu merupakan wujud kongret dari adanya sistem demokrasi. Sistem yang “katanya” merupakan sistem yang terbaik bangi bangsa-negara. Meskipun pemilu yang berlangsung secara demokratis tidak selalu melahirkan pemimpin yang ideal dan sesuai harapan. Itulah salah satu cacat dari demokrasi. Namun demikian, sebagai sistem dan etika politik, demokrasi telah teruji sebagai pilihan terbaik bagi bangsa-negara. Karena mengedepankan dan menjunjung tinggi kepentingan rakyatnya serta lebih menjanjikan bagi kelangsungan dan stabilitas hidup bernegara secara beradab. Meskipun tidak menutup kemungkinan demokrasi yang kita bangun juga akan membawa seluruh rakyatnya ke jurang keharncuran, bila tidak ada kontrol yang cukup untuk menjalankannya.
Hinggar bingar kampanye dewan legislative dan eksekutif yang semakin menggema hampir di jangan sampai mengorbankan hak-hak masyarakat sipil yang merupakan pilar utama dalam demokrasi. Demokrasi di Indonesia harus dibangun dan diraih secara fair tanpa adanya manipulasi dan hegemoni dari kepentingan orang lain. Agar demokrasi yang ada dapat optimal dan kokoh di tengah kesengsaraan.

Penulis Berdomisili di Jl. Minggiran MJ II/1482-B Yogyakarta.

0 comments:

Post a Comment

free counters

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Page Rank

Copyright © 2011 Green Ilmu | Splashy Free Blogger Templates with Background Images, Trucks