Oleh: Miftahul A’la
Nama Sultan Hamengku Buwono ke X beberapa bulan terakhir ini kembali mencuat dan menjadi sorotan utama oleh berbagai media baik lokal maupun nasional. Hal ini disebabkan karena keinginan kuat sultan untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia serta berpartisipasi aktif memajukan bangsa-negara. Sebab dengan majunya sultan menjadi presiden, maka secara tidak langsung seluruh masyarakat Indonesia akan berada di bawah kekuasaannya.
Kita tentunya masih ingat dengan keputusan yang diambil oleh Sultan Hamengku Buwono X pada acara pesowangan agung yang gelar pada 27 oktober 2008 yang lalu. Dengan tegas dan menyakinkan, sultan mengatakan bahwa belia siap untuk mencalonkan dirinya pada pemilu 2009 yang tinggal beberapa jengkal lagi.
Keputusan yang diambil oleh pemimpin DI Yogyakarta untuk maju menjadi presiden Indonesia tentunya merupakan berita menggembirakan bagi masyarakat Indonesia. Karena sultan sebagai orang yang mempunyai wibawa di Indonesia mau dan perduli dengan nasib bangsa-negara. Selain juga dalam realitasnya sultan juga sudah mahir memainkan dan berkecimpung langsung dalam dunia politik dan ia mampu untuk memainkan politik. Kiprah sultan dalam politik Indonesia cukup memukau dan banyak diakui. Lihat saja ketika pada masa panas-panasnya pergulatan politik untuk melengserkan presiden Soeharto pada tahun 1998, dengan lihainya sultan mampu menahan gejolak yang terjadi di wilayah Yogya dan sekitarnya. Sehingga meskipun ibukota begitu rusuh dengan aksi demo yang anarkis, Yogya masih tetap tenang. Maka keinginan sultan akan membawa angin segar untuk keberlanjutan dan eksistensi Indonesia kedepan.
Sebenarnya, keinginan sultan untuk menaiki kancah politik nasional bukan merupakan hal baru. Sultan sudah memiliki keinginan untuk terjun ke politik nasional, meskipun keinginannya belum mampu terealisikan dan belum banyak diketahui oleh khalayak umum.
Indonesia Mini
Di balik kewibawaan sultan terdapat nila-nilai spiritual yang tidak sulit untuk dipahami oleh khalayak umum. Jalan yang ditempuh sultan tentunya bukan hal yang tabu, sebab bagaimanapun juga sebagai orang berdarah jawa murni, tentunya jiwa kejawen masih melekat di dalam dirinya.
Sebagai seorang raja keturunan jawa, tentunya berbagai ritual kejawen masih cukup melekat dalam prilaku sultan. Dan lewat prilaku kejawen inilah yang secara tidak langsung juga menjadi foundasi utama bagi kelanggengan sultan dalam menjalankan pemerintahannya.
Jika melihat track record perjalanan kepimimpinan sultan memang tidak diragukan lagi kapasitasnya dalam memimpin. Terlebih seperti apa yang dapat kita saksikan di wilayah DI Yogya. Daerah yang dipimpin menjadi lebih makmur, toleransi antar agama terjaga dengan baik, tidak ada perbedaan ras dan suku, kemiskinan semakin berkurang dan pamor wilayah yang dipimpinnya semakin berkembang. Lebih mudahnya kebinekaan yang menjadi ikon pijakan bagi Indonesia mampu dijalankan di Yogya.
Keinginan sultan untuk maju menjadi presiden RI bukan tanpa alasan yang pasti, Salah satu hal yang mempelopori keinginannya untuk menjadi presiden adalah berangkat dari kekecewaan yang sudah menggejala selama sepuluh tahun lamanya serta wasiat terakhir yang diucapkan oleh ayahnya yaitu sultan HB IX. Sebab sebelum meletakan tahtanya kepada KGPH Mangkubumi yang kemudian bergelar hamengkubuwono X, HB IX berpesan kepada putranya tersebut untuk selalu berpegang tegung pada 5 syarat ketika menjadi seorang pemimpin. (Arwan Tuti Arta :2008)
Kelima wasiat yang dianjurkan oleh HB IX pertama harus berjanji tidak boleh berprasangka, iri pada orang lain biarpun orang lain tidak senang. Kedua, harus berjanji tidak melanggar peraturan negara. Ketiga, harus berani mengatakan yang benar itu benar, keempat tidak boleh memiliki sikap ambisius, kecuali ambisi untuk kepentingan rakyatnya serta yang terakhir adalah lebih baik memberi daripada menerima.
Sultan Hamengku Bowono IX pada waktu itu cukup menyesal karena tidak bisa melakukan dengan berani syarat yang ketiga yaitu bertindak melihat kedhaliman. Untuk itulah KGPH Mangkubumi dipesan harus lebih berani darinya. Pada masanya, jika Sultan HB IX berbeda pendapat dengan pada penguasa, lebih memilih diam. Sebab, ada keyakinan bahwa pilihan diam itu paling benar daripada bangsa ini perang saudara. Tetapi sekarang dirasakannya bahwa sikap diam itulah salah. Dengan tidak pernah bicara jika Sultan berbeda pendapat, ternyata rakyat tetap miskin setelah merdeka sekian tahun. Pesan-pesan itu terus dipegang dan menuntun KGPH Mangkubumi menuju tahta tertinggi di Keraton Yogyakarta. Dan, pesan-pesan inilah yang mengantarkan Sultan menuju Istananya!
Memang dalam menjalankan sistem kepemimpinannya, sultan masih lengket sekali dengan sistem feodalisme, akan tetapi dalam realitasnya masyarakat mampu untuk mendapatkan kesejahteraan. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles pernah mengemukakan bahwasanya keutamaan itu sendiri terdiri dalam dua jenis, yaitu keutamaan intelektual dan yang kedua adalah keutamaan moral. Keutamaan intelektual berasal dan dapat berkembang secara optimal terutama karena pengajaran yang serius. Sedangkan keutamaan moral dibentuk dan di bangun oleh kebiasaan, etos dan istilah etik. Keutamaan pertama kali dapat kita peroleh dengan melakukannya sesuai prosedur yang pasti. Dari pernyataan Aristoteles semacam itulah, sudah seharusnya kita menyadari, bahwa dalam diri kita akan bisa menjadi baik jika diri kita bisa melakukan serta menjalankan sesuatu yang baik pula.
Indonesia saat ini memang mengalami masalah besar yang tidak pernah disadari, yakni kehilangan kesadaran moralitas. Para pemimpin bangsa kesadaran nuraninya sudah hilang sehingga tega melakukan sesuatau yang merugikan rakyatnya. Kita membutuhkan teladan yang baik untuk memimpin serta membawa negara indonesia menuju perubahan. Pemimpin harus bisa menunjukan kesadaran moral, agar bangsa Indonesia juga mempunyai moral yang benar-benar bermoral, dan teladan semacam ini melekat dalam diri sultan.
Sudah saatnya para penguasa Indonesia harus bisa memulai untuk mengembalikan eksistensi manusia yang selama ini telah hilang dari dalam hatinya, akibat dari pengaruh materi-materi yang membuat mereka menjadi buta hati. Jangan sampai terjadi sebuah prilaku yang membawa pada jurang kehancuran bagi negara kita ini. Sudah saatnya nurani kita yang bicara, jangan hanya janji-janji dan janji yang kita lakukan. Kalau para penguasa hanya bisa bicara dengan omong kosongnya saja maka akan percuma. Mustahil akan tercipta negara yang sejahtera dan santosa. Jika suara hati yang bicara kemungkinan besar berbagai masalah yang sedang melanda negara kita sedikit demi sedikit akan bisa terselesaikan secara optimal.
Nama Sultan Hamengku Buwono ke X beberapa bulan terakhir ini kembali mencuat dan menjadi sorotan utama oleh berbagai media baik lokal maupun nasional. Hal ini disebabkan karena keinginan kuat sultan untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia serta berpartisipasi aktif memajukan bangsa-negara. Sebab dengan majunya sultan menjadi presiden, maka secara tidak langsung seluruh masyarakat Indonesia akan berada di bawah kekuasaannya.
Kita tentunya masih ingat dengan keputusan yang diambil oleh Sultan Hamengku Buwono X pada acara pesowangan agung yang gelar pada 27 oktober 2008 yang lalu. Dengan tegas dan menyakinkan, sultan mengatakan bahwa belia siap untuk mencalonkan dirinya pada pemilu 2009 yang tinggal beberapa jengkal lagi.
Keputusan yang diambil oleh pemimpin DI Yogyakarta untuk maju menjadi presiden Indonesia tentunya merupakan berita menggembirakan bagi masyarakat Indonesia. Karena sultan sebagai orang yang mempunyai wibawa di Indonesia mau dan perduli dengan nasib bangsa-negara. Selain juga dalam realitasnya sultan juga sudah mahir memainkan dan berkecimpung langsung dalam dunia politik dan ia mampu untuk memainkan politik. Kiprah sultan dalam politik Indonesia cukup memukau dan banyak diakui. Lihat saja ketika pada masa panas-panasnya pergulatan politik untuk melengserkan presiden Soeharto pada tahun 1998, dengan lihainya sultan mampu menahan gejolak yang terjadi di wilayah Yogya dan sekitarnya. Sehingga meskipun ibukota begitu rusuh dengan aksi demo yang anarkis, Yogya masih tetap tenang. Maka keinginan sultan akan membawa angin segar untuk keberlanjutan dan eksistensi Indonesia kedepan.
Sebenarnya, keinginan sultan untuk menaiki kancah politik nasional bukan merupakan hal baru. Sultan sudah memiliki keinginan untuk terjun ke politik nasional, meskipun keinginannya belum mampu terealisikan dan belum banyak diketahui oleh khalayak umum.
Indonesia Mini
Di balik kewibawaan sultan terdapat nila-nilai spiritual yang tidak sulit untuk dipahami oleh khalayak umum. Jalan yang ditempuh sultan tentunya bukan hal yang tabu, sebab bagaimanapun juga sebagai orang berdarah jawa murni, tentunya jiwa kejawen masih melekat di dalam dirinya.
Sebagai seorang raja keturunan jawa, tentunya berbagai ritual kejawen masih cukup melekat dalam prilaku sultan. Dan lewat prilaku kejawen inilah yang secara tidak langsung juga menjadi foundasi utama bagi kelanggengan sultan dalam menjalankan pemerintahannya.
Jika melihat track record perjalanan kepimimpinan sultan memang tidak diragukan lagi kapasitasnya dalam memimpin. Terlebih seperti apa yang dapat kita saksikan di wilayah DI Yogya. Daerah yang dipimpin menjadi lebih makmur, toleransi antar agama terjaga dengan baik, tidak ada perbedaan ras dan suku, kemiskinan semakin berkurang dan pamor wilayah yang dipimpinnya semakin berkembang. Lebih mudahnya kebinekaan yang menjadi ikon pijakan bagi Indonesia mampu dijalankan di Yogya.
Keinginan sultan untuk maju menjadi presiden RI bukan tanpa alasan yang pasti, Salah satu hal yang mempelopori keinginannya untuk menjadi presiden adalah berangkat dari kekecewaan yang sudah menggejala selama sepuluh tahun lamanya serta wasiat terakhir yang diucapkan oleh ayahnya yaitu sultan HB IX. Sebab sebelum meletakan tahtanya kepada KGPH Mangkubumi yang kemudian bergelar hamengkubuwono X, HB IX berpesan kepada putranya tersebut untuk selalu berpegang tegung pada 5 syarat ketika menjadi seorang pemimpin. (Arwan Tuti Arta :2008)
Kelima wasiat yang dianjurkan oleh HB IX pertama harus berjanji tidak boleh berprasangka, iri pada orang lain biarpun orang lain tidak senang. Kedua, harus berjanji tidak melanggar peraturan negara. Ketiga, harus berani mengatakan yang benar itu benar, keempat tidak boleh memiliki sikap ambisius, kecuali ambisi untuk kepentingan rakyatnya serta yang terakhir adalah lebih baik memberi daripada menerima.
Sultan Hamengku Bowono IX pada waktu itu cukup menyesal karena tidak bisa melakukan dengan berani syarat yang ketiga yaitu bertindak melihat kedhaliman. Untuk itulah KGPH Mangkubumi dipesan harus lebih berani darinya. Pada masanya, jika Sultan HB IX berbeda pendapat dengan pada penguasa, lebih memilih diam. Sebab, ada keyakinan bahwa pilihan diam itu paling benar daripada bangsa ini perang saudara. Tetapi sekarang dirasakannya bahwa sikap diam itulah salah. Dengan tidak pernah bicara jika Sultan berbeda pendapat, ternyata rakyat tetap miskin setelah merdeka sekian tahun. Pesan-pesan itu terus dipegang dan menuntun KGPH Mangkubumi menuju tahta tertinggi di Keraton Yogyakarta. Dan, pesan-pesan inilah yang mengantarkan Sultan menuju Istananya!
Memang dalam menjalankan sistem kepemimpinannya, sultan masih lengket sekali dengan sistem feodalisme, akan tetapi dalam realitasnya masyarakat mampu untuk mendapatkan kesejahteraan. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles pernah mengemukakan bahwasanya keutamaan itu sendiri terdiri dalam dua jenis, yaitu keutamaan intelektual dan yang kedua adalah keutamaan moral. Keutamaan intelektual berasal dan dapat berkembang secara optimal terutama karena pengajaran yang serius. Sedangkan keutamaan moral dibentuk dan di bangun oleh kebiasaan, etos dan istilah etik. Keutamaan pertama kali dapat kita peroleh dengan melakukannya sesuai prosedur yang pasti. Dari pernyataan Aristoteles semacam itulah, sudah seharusnya kita menyadari, bahwa dalam diri kita akan bisa menjadi baik jika diri kita bisa melakukan serta menjalankan sesuatu yang baik pula.
Indonesia saat ini memang mengalami masalah besar yang tidak pernah disadari, yakni kehilangan kesadaran moralitas. Para pemimpin bangsa kesadaran nuraninya sudah hilang sehingga tega melakukan sesuatau yang merugikan rakyatnya. Kita membutuhkan teladan yang baik untuk memimpin serta membawa negara indonesia menuju perubahan. Pemimpin harus bisa menunjukan kesadaran moral, agar bangsa Indonesia juga mempunyai moral yang benar-benar bermoral, dan teladan semacam ini melekat dalam diri sultan.
Sudah saatnya para penguasa Indonesia harus bisa memulai untuk mengembalikan eksistensi manusia yang selama ini telah hilang dari dalam hatinya, akibat dari pengaruh materi-materi yang membuat mereka menjadi buta hati. Jangan sampai terjadi sebuah prilaku yang membawa pada jurang kehancuran bagi negara kita ini. Sudah saatnya nurani kita yang bicara, jangan hanya janji-janji dan janji yang kita lakukan. Kalau para penguasa hanya bisa bicara dengan omong kosongnya saja maka akan percuma. Mustahil akan tercipta negara yang sejahtera dan santosa. Jika suara hati yang bicara kemungkinan besar berbagai masalah yang sedang melanda negara kita sedikit demi sedikit akan bisa terselesaikan secara optimal.
0 comments:
Post a Comment