Puting beliung dalam bahasa Jawa ala kampung saya disebut ulur-ulur. Makanya jika ada orang atau anak-anak berambut gondrong dan ada sedikit rambut panjang ditengkuknya langsung diberi tahu : ” Mbok ya cukur tho, ning jithokmu wis onok ulur-ulure “. Dalam kekuatan yang cukup, puting beliung bisa merobohkan pohon dan rumah.
Menghalau puting beliung alias ulur-ulur dikampung saya tak perlu dengan cara yang rumit dan atau menggunakan alat yang aneh-aneh. Begitu di kejauhan tampak ada warna hitam jlanther kebawah yang makin mengecil mirip mata bor, maka anak-anak kecil sudah berteriak ramai-ramai : ” ulur-uluuuuuur, aja pedhot-pedhot ngisor…pedhoto nduwur “. Kalimat itu diteriakan berkali-kali. Dan anehnya, menurut pandangan kami waktu itu, ulur-ulur itu makin lama makin mengkeret dan akhirnya hilang.
Kalimat : ” ulur-uluuuuuur, aja pedhot-pedhot ngisor…pedhoto nduwur ” artinya yang putus jangan yang dibawah ( bangunan rumah atau pohon) , tetapi yang putus adalah bagian atas alias si ulur-ulur itu sendiri. Hebat benar ya anak-anak kampung saya.
Lain lagi yang dilakukan oleh orang dewasa. Ketika suatu kali ada puting beliung yang berhasil memporak-porandakan rumah, hanya satu rumah yang tersisa. Rumah itu terbuat dari bambu, tiang maupun dindingnya semua dari bambu. Di halaman rumah tampak seorang nenek dengan tenangnya meraut daun kelapa untuk membuat sapu lidi. Ketika ditanya oleh puluhan wartawan yang mewawancarai tentang rahasia kehebatannya si nenek dengan kalem menjawab : ” Rahasia apa, nggak ada rahasia-rahasiaan segala “.
Wartawan terus mengejar dengan pertanyaan lanjutan : ” Hla semua rumah pada hancur tapi nenek dan rumah kok bisa tetap kokoh gimata tuh? “. Sambil berdiri menghadap kamera, si nenek menjawab singkat : ” Saya tiap hari minum jamu tolak angin, tahuuuuuuuuu”
.jpg)
0 comments:
Post a Comment