: Hudan Nur)*
Nubuat kecil yang dicatat Jamrin Abubakar adalah kontemplasi penuh dengan segala daya yang dimilikinya selaku wartawan selama puluhan tahun. Dalam buku ini, ada beberapa tema yang diusung untuk mengingatkan pembaca terhadap hal besar, seperti; lengkatuwo sang tadukalo murni, sejumlah hipokrit kejadian PID Forum, atau sejumlah ceceran kesedihan terhadap modero.
Tidak dapat dipungkiri tulisan-tulisan ini adalah hasil kehamilan eksperimental oleh penulisnya selama merekam himpitan-himpitan, gejolak, kegelisahan, hingga dengan nubuat kecil inilah penulis bersaksi. Bahasa yang sederhana dengan ventilasi lokal yang utuh membuat nubuat kecil ini menjadi istimewa. Khususnya bagi orang luar yang notabenenya bukan orang Kaili, atau penduduk Palu untuk masuk dalam mindset papakerma lembah Palu dengan sejumlah adat, sejarah, warna, bahkan polemik yang pernah terbangun sebelumnya.
Di samping itu, secara tidak langsung semiotika yang dituturkan secara implisit dalam Menggugat Kebudayaan Tadulako ini membuat para pecinta khasanah budaya, sastra, etimologi, dan sebagainya menjadi tertarik untuk melihat langsung betapa tragisnya dan seriusnya kulminasi moral yang sebenarnya (masih) terjadi di lembah Palu dan yang terpenting ada nadir yang belum terungkap. Mengingat, di Indonesia belum ada responsif secara apresiasi yang ditulis serius dan kontinyu untuk pelan-pelan membuka tabir ‘pusat peradaban dunia’ di Sulawesi Tengah.
Tidak banyak orang tahu tentang pusat peradaban dunia, hanya sedikit kalangan yang bisa dihitung. Dan kalaupun ada, hanyalah yang berkepentingan secara instansi atau pelancong asing dengan misi tertentu seperti penelitian akademik. Dari nubuat kecil ini, penulis berusaha menggugah semua pihak untuk peduli. Tulisan-tulisan ini adalah rekaman jejak yang perlu ditelusuri ulang demi kepentingan sejarah. Secara pribadi, saya tercenung dengan gejolak yang pernah terjadi dalam masa penulisan nubuat kecil ini. Ada spirit yang tertangkap, hingga penulis tuliskan dan spirit itu perlu ditularkan.
Lalu tabir lokalitas bisa mengglobal bila nubuat kecil ini bisa ditindaklanjuti, entah dalam bentuk apapun. Sebab apresiasi serupa sangat jarang direkam oleh masyarakat Kaili khususnya, dan bahkan masyarakat etnis Kulavi, Napu, Behoa, Bada,Mori, dan Pamona. Semoga kehamilan berikutnya, penulis mampu menggugah masyarakat sastra, sejarah, dan budaya untuk memposisikan diri sebagai pemeduli.
Tidak dapat dipungkiri tulisan-tulisan ini adalah hasil kehamilan eksperimental oleh penulisnya selama merekam himpitan-himpitan, gejolak, kegelisahan, hingga dengan nubuat kecil inilah penulis bersaksi. Bahasa yang sederhana dengan ventilasi lokal yang utuh membuat nubuat kecil ini menjadi istimewa. Khususnya bagi orang luar yang notabenenya bukan orang Kaili, atau penduduk Palu untuk masuk dalam mindset papakerma lembah Palu dengan sejumlah adat, sejarah, warna, bahkan polemik yang pernah terbangun sebelumnya.
Di samping itu, secara tidak langsung semiotika yang dituturkan secara implisit dalam Menggugat Kebudayaan Tadulako ini membuat para pecinta khasanah budaya, sastra, etimologi, dan sebagainya menjadi tertarik untuk melihat langsung betapa tragisnya dan seriusnya kulminasi moral yang sebenarnya (masih) terjadi di lembah Palu dan yang terpenting ada nadir yang belum terungkap. Mengingat, di Indonesia belum ada responsif secara apresiasi yang ditulis serius dan kontinyu untuk pelan-pelan membuka tabir ‘pusat peradaban dunia’ di Sulawesi Tengah.
Tidak banyak orang tahu tentang pusat peradaban dunia, hanya sedikit kalangan yang bisa dihitung. Dan kalaupun ada, hanyalah yang berkepentingan secara instansi atau pelancong asing dengan misi tertentu seperti penelitian akademik. Dari nubuat kecil ini, penulis berusaha menggugah semua pihak untuk peduli. Tulisan-tulisan ini adalah rekaman jejak yang perlu ditelusuri ulang demi kepentingan sejarah. Secara pribadi, saya tercenung dengan gejolak yang pernah terjadi dalam masa penulisan nubuat kecil ini. Ada spirit yang tertangkap, hingga penulis tuliskan dan spirit itu perlu ditularkan.
Lalu tabir lokalitas bisa mengglobal bila nubuat kecil ini bisa ditindaklanjuti, entah dalam bentuk apapun. Sebab apresiasi serupa sangat jarang direkam oleh masyarakat Kaili khususnya, dan bahkan masyarakat etnis Kulavi, Napu, Behoa, Bada,Mori, dan Pamona. Semoga kehamilan berikutnya, penulis mampu menggugah masyarakat sastra, sejarah, dan budaya untuk memposisikan diri sebagai pemeduli.
)* Penulis, Anggota Wanita Penulis Indonesia
0 comments:
Post a Comment