Jamu, Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka

Tuesday, 15 February 2011



Jamu, Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka  Cara mengenali, memilih, dan mengonsumsi agar aman dan efektif  Herba sudah naik kelas! Mau bukti? Mampirlah ke apotek. Di sana, Anda bisa menemukan berbagai jenis produk herbal yang tidak “bau jamu” lagi, bahkan dikemas apik seperti obat farmasi. Lebih menariknya lagi, yang naik kelas bukan hanya penampilannya saja. Status mereka juga sudah lebih jelas, digolongkan ke dalam kelompok jamu, herbal terstandar, serta fitofarmaka.  Namun, selain disambut gembira, ternyata perbedaan status ini juga membuat sebagian orang bertanya-tanya. Karena tidak bisa dipungkiri, jika pengertian jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka, memang belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat awam.   


 Supaya lebih berkualitas  
Menurut Prof Dr Sumali Wiryowidagdo, Guru Besar Farmasi Universitas Indonesia, pemberian kategori produk herbal menjadi jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka, sesungguhnya lebih bertujuan merangsang industri obat tradisional untuk meningkatkan mutu dan kualitas produk herba yang beredar di pasaran. Dengan demikian, diharapkan efektivitas dan keamanannya bisa lebih dipertanggungjawabkan.  Perlu diketahui, Indonesia memiliki 30.000 dari 40.000 spesies tumbuhan yang ada di muka bumi. Sebagian dari tumbuhan tadi sudah dimanfaatkan secara turun-temurun dalam pengobatan tradisional, namun cara menggunakannya belum memiliki standar yang resmi.  Akibatnya, industri sudah merasa cukup puas dengan bukti-bukti empiris yang ada, dan bebas memasarkan produknya tanpa harus melalui uji ilmiah. Kondisi ini berisiko tinggi bagi kesehatan, karena masyarakat menjadi “buta” dengan kualitas produk herba yang dikonsumsi.     


Berdasarkan status pengujian
Pada prinsipnya, obat tradisional yang bahannya berasal dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia (produk herba) disebut jamu. Seiring dengan perkembangan teknologi, berbagai penelitian mengenai jamu pun dilakukan. Penelitian tersebut bertujuan untuk menguji khasiat, efektivitas, dan keamanan jamu yang beredar di pasaran. Sesuai status pengujiannya, jamu dapat digolongkan menjadi 3 kelompok :       
1.       Jamu  
        Inilah produk herba yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Di pasaran, kita bisa menjumpainya dalam bentuk rebusan atau godhogan sebagaimana dijajakan para penjual jamu gendong, herba kering siap seduh, juga dalam bentuk segar. Demi alasan kepraktisan, kini jamu juga diproduksi dalam bentuk bubuk, kapsul, pil, dan kemasan cair siap minum.  Pada umumnya, jamu dalam kelompok ini diracik berdasarkan resep peninggalan leluhur, dan belum diteliti secara ilmiah. Khasiat dan keamanannya dikenal secara empiris (berdasarkan pengalaman turun temurun).        
2.     Herba terstandar  
       Sedikit berbeda dengan jamu, herba terstandar umumnya sudah mengalami pemrosesan, misalnya berupa ekstrak dalam kapsul. Herba yang diekstrak tersebut sudah diteliti khasiat dan keamanannya melalui uji pra-klinis (terhadap hewan) di laboratorium.  Disebut herba terstandar, karena dalam proses pembuatannya telah diterapkan standar kandungan bahan, cara pengolahan, higienitas, serta uji toksisitas (untuk mengetahui ada tidaknya kandungan racun dalam herba tersebut). Jadi, unsur-unsur di dalamnya sudah mengalami standarisasi.  Di pasaran, produk herbal yang berstatus herbal terstandar jumlahnya ada 17 macam. Cara mengenalinya cukup mudah, yaitu dengan melihat logo yang umumnya tercetak pada sebelah kiri atas kemasan. Herbal terstandar memiliki simbol tiga tanda bintang yang berada di dalam lingkaran hijau muda, dan berlatar belakang warna kuning cerah.    
3.      Fitofarmaka  
      Merupakan jamu dengan “kasta” tertinggi karena khasiat, keamanan, serta standar proses pembuatan dan bahannya telah diuji secara klinis (pada manusia).  Hal itu membuat fitofarmaka dianggap sebagai produk herba yang sudah jelas bukti-bukti ilmiahnya sehingga berkedudukan sejajar seperti obat kimia dan bisa diresepkan oleh dokter. Meskipun begitu, fitofarmaka dijual secara bebas dan bisa dibeli tanpa resep dokter. Ciri fitofarmaka, pada kemasan terdapat simbol gambar mirip akar yang berada dalam lingkaran hijau muda, berlatar belakang warna kuning cerah.  Hingga saat ini, jenis produk herba berstatus fitofarmaka di Indonesia baru 5 macam, yaitu Nodia (untuk diare non-spesifik), Rheumaneer (untuk nyeri sendi), Stimuno (untuk meningkatkan kekebalan tubuh), Tensigard (untuk tekanan darah tinggi), dan X-Gra (untuk gangguan ereksi). Menurut Prof Sumali, keterbatasan jumlah fitofarmaka ini disebabkan oleh biaya uji klinis dan uji khasiat yang sangat mahal dan memerlukan waktu cukup lama.     


Belum tentu lebih manjur  

           Meskipun sudah memiliki “kasta” sendiri-sendiri, Prof Sumali menilai, pada prinsipnya jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka memiliki aturan pakai dan khasiat yang relatif sama. Hanya saja, tidak seperti herbal terstandar dan fitofarmaka, dosis jamu belum distandarisasi. Produk yang statusnya lebih tinggi juga belum tentu lebih manjur, karena efektivitas herba bergantung pada jenis penyakit dan kondisi yang bersangkutan.  Jadi, prinsip yang perlu ditanamkan dalam memilih dan mengonsumsi produk herba – apa pun statusnya - adalah mengenali kondisi tubuh terlebih dahulu. Jenis produk yang tepat bisa ditentukan kemudian, bergantung pada diagnosa dan kebutuhan tubuh kita.(N)

www.nirmalamagazine.com

0 comments:

Post a Comment

free counters

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Page Rank

Copyright © 2011 Green Ilmu | Splashy Free Blogger Templates with Background Images, Trucks